Bagian 3

116 12 1
                                    

"Bagaimana bisa tiap detiknya seseorang mengingat mati? Ajari aku."
🍃🍃🍃

Ajakan kepada Sana  kemarin berhasil memenuhi pikiran. Tadinya sekadar asal bicara, tapi mengapa malah memenuhi isi kepala?

Setelah membereskan diri dan bersiap tidur, tiba-tiba aku mendapatkan panggilan dari pihak rumah sakit. Mereka memintaku untuk menggantikan Dokter Ryan yang tiba-tiba berhalangan hadir disebabkan orang tuanya meninggal. Sungguh mengesalkan.

Waktu melewati lorong rumah sakit seusai operasi, tampak Sana sedang terpontang-panting keluar dari ruang inap 201. Bahkan dia melewatiku begitu saja. Seharian memang Sana tidak terlihat. Mungkin dia kebagian sif malam.

Sana? Omar bareng siapa?

Otakku teralihkan kepada Omar. Kalau Sana bekerja di malam hari, anak itu dengan siapa? Bukankah malam menjadi lebih menakutkan bagi anak seumuran dia?

Langkahnya berhenti di mushalla. Aku mengikuti perempuan itu. Bukan mauku, tapi kakiku yang memintanya.

Tiga puluh menit berlalu, batang hidung Sana baru kelihatan. Dia membenarkan jilbab birunya itu, lalu tatapannya lurus ke tempatku berdiri.

"Dokter?" Dia kebingungan melihat keberadaanku yang sedang menatapnya kaku.

Kakiku melangkah dan menjulurkan roti kepadanya. "Keliru beli lebih."

Sana mengambilnya dengan hati-hati. Ketara sekali kalau dia takut menyentuh tanganku.

"Terima kasih," ucapnya sambil melanjutkan langkahnya.

Aku mengikuti Sana sembari mengunyah roti. Sementara dia masih berjalan dengan menggenggam pemberianku tadi.

"Makanlah."

Ia hanya mengangguk. Sana berhenti di kursi taman. Lalu ia duduk dan membuka dengan pelan bingkisan roti itu.

"Nabi kalau makan sambil duduk. Daripada cuma ngisi perut, lebih baik dijadikan ibadah dengan mengikuti adab beliau."

Pernyataan Sana itu membuat aku kelabakan. Lebih tepatnya malu karena tidak secerdas dia. Malu karena seharusnya pria lebih tahu dan lebih banyak perihal ilmu.

Kemudian sadar kalau diri ini ternyata sangat jauh dari akhirat.

Alih-alih merasa ibadah cukup dengan salat, rupanya rajin salat tanda muslim yang normal bukanlah keshalihan. Lantas bagaimana jika tidak salat?

"Akhir-akhir ini kamu terlihat sangat gusar," tanyaku, mencoba menyingkirkan lengang.

Sana menoleh ke arahku, lalu  berhenti mengunyah. Aku sudah menunggu jawabannya, tapi perempuan ini hanya tersenyum.

"Katanya doa di sepertiga malam itu lebih dekat dengan pengabulan. Minta deh," timbalku lagi, masih berusaha menembus senyap.

Tatapan Sana lurus ke depan, dia mendengus pelan. "Saya lebih takut bila semua doa saya dikabulkan saat ini juga, waktu di dunia."

Perempuan ini penuh dengan teka-teki. Ucapan dan tingkah lakunya dipenuhi enigma.

Mataku menyipit dan alisku hampir menyatu. Barangkali Sana sadar kalau jawabannya barusan telah menciptakan kebingungan.

"Kalau semua doa saya dikabulkan di dunia, saya takut tidak dapat apa-apa kelak di kehidupan kedua," ia melanjutkan seolah mengerti dan bisa membaca diamku yang penuh ketidakjelasan.

"Dokter tahu apa yang sangat menyedihkan dari kematian?" tanyanya setelah memandangiku sekilas.

"Sakaratul maut. Aku dengar itu sangat menyakitkan," jawabanku membuka senyum Sana.

LaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang