Bagian 27

10 2 0
                                    


Tidak butuh waktu lama, kita menikah dengan cara yang sangat sederhana. Kita sepakat untuk melaksanakan ijab kabul di masjid dan tasyakuran di rumah bersama orang terdekat. Tidak banyak, hanya aku dan keluarga Sana, juga Ayya. 

Bibir mengulas senyuman, tapi tidak bisa dibohongi ada luka di manik mata cokelat itu. Aku bahkan tidak sabar ingin menyudahi tasyakarun kecil ini untuk menghiburnya. Terlihat jelas dia sudah tidak mampu tersenyum palsu lagi.

"Nak, bisa bicara sebentar?" tepukan lembut di bahu dari  ibunya Sana menyudahi tatapanku padanya, pada perempuan yang sudah sah menjadi istriku sejak satu jam yang lalu.

Aku mengikutinya dari belakang yang berjalan keluar dari acara. Wanita di depanku yang secara hukum sudah menjadi ibu mertuaku berhenti di dekat dapur. Sedikit jauh dari ruang tengah.

"Ada apa, Bu?"

"Oh iya, sekarang Kahfa sudah bisa manggil Ibu, kan?"

Senyumnya, lalu berkata, "Tentu. Ibu mertua nggak ada bedanya sama ibu kandung. Jangan sungkan ke Ibu."

"Siap," jawabku semangat sambil mengangkat kedua jempol tanganku.

Hening sekejap. Ibu tampak menggosok kecil kedua jempolnya. Persis yang dilakukan Sana ketika ragu. Ternyata sikap gugup dan ragunya menurun kepada Sana.

"Tidak apa. Katakan saja, Bu," ucapku lagi meyakininya.

"Begini.. ini egois dan memalukan. Pasti kamu juga menganggap urat malu saya sudah putus, tapi tolong jaga Alara. Hidupnya , hm... sangat sulit." Kebingungan lagi, Ibu terlihat sangat bingung atau mungkin ia takut salah. 

Aku menunggunya dan sengaja menanggapi permintaannya dengan anggukan panjang

Bola mata ibu mengarah ke sembarang tempat. Bibirnya sedikit bergetar, lalu ia bersuara meski tampak berusaha keras menyembunyikan kesulitannya, "Omar itu anak ibu..."

"Hah?" potongku tanpa sadar mengundang sekilas manik matanya.

"Ibu menikah lebih dari sekali, bukan, lebih dari dua kali. Omar lahir persis waktunya dengan anak kakaknya Alara yang meninggal. Kita sepakat untuk menukarnya di belakang Alara. Mengaku anak ibu yang meninggal. Kemudian Omar diambil dan dirawat oleh kakaknya Alara. Hal yang paling Alara mau adalah jauh dari Ibu. Dia dulu selalu ingin keluar dari rumah, tinggal sendiri. Setelah suami Ibu ditugaskan ke luar pulau, Ibu sangat bersyukur. Alara tidak perlu tinggal jauh dari rumah."

"Mengapa aku harus menghabiskan waktuku yang berharga hanya untuk anak yang bukan anakku? mengapa orang tua menjadi sangat egois?  Saya selalu berpikir kalau Alara memikirkan hal itu tiap malam. Kahfa, ini tidak adil buat Alara. Hidupnya dihancurkan oleh ibunya sendiri. Mungkin dia selalu berpikir bahwa hidup benar-benar tidak adil untuknya."

Helaan napas kasar keluar begitu saja. Mungkin kalau jadi Sana, aku tidak bisa. Benar. hidup sangat tidak adil baginya.

"Tolong......"

"Aku sudah tahu."

Perkataan Ibu terpotong akibat kedatangan Sana. Kita berdua kompak melihat ke arahnya.

Seperti mendapat sinyal, aku pergi untuk memberi privasi kepada mereka. Akan tetapi, aku tidak benar-benar menjauh. Aku hanya menyingkir sedikit dan menyender di dinding dekat dapur. Menahan sesak dan berusaha menetralkannya. Jantungku terasa sakit mengetahui hidup sebegitu mengkhianati Sana. 

"Aku tahu kalau Omar adik aku. Sulit, tapi aku sama sekali nggak menyesal," lanjut Sana. Tatapanku mengarah otomatis kepada mereka saat mendengar ucapan Sana.

Terlihat Ibu ingin mendekap anak perempuannya, tapi dia memilih menyatukan kedua tangannya untuk memeluk dirinya sendiri. Bulir tiap bulir menetes melewati pipinya. Sementara kedua tangan Sana mengepal seolah menahan sesuatu. 

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 24 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

LaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang