Bagian 11

57 7 0
                                    

"Bagaimana bisa orang seburuk aku ibadahnya mencintai dia yang sangat indah takwanya."
🍃🍃🍃🍃🍃

Salah satu tanda bahwa kita masih manusia biasa adalah saat kita kebingungan mencari makna dari perkataan yang tidak jelas.

Bersama isi kepala yang penuh penasaran, kakiku melenggang menjauh dari hujan.

Aku lihat Sana menutup pintu untuk keluar sewaktu tubuhku sampai di lantai enam. Dia melihatku sekilas sebelum akhirnya badannya berbalik dan membuka pintu untuk masuk ke dalam.

Tersadar akan keanehannya, aku langsung menahan wanita itu dengan menarik lengan tangannya. Sangat kerasa respon kagetnya itu.

Pupil matanya turun ke bawah, ke arah tangan kita.

Sekarang aku yang terkejut karena air matanya tiba-tiba turun. Dia menangis?

"Kamu kenapa? Apa aku melakukan kesalahan?" Pertanyaan yang sedari tadi aku simpan keluar juga pada akhirnya.

Dia memalingkan wajah dan menatap lurus ke arah pintu, serta berkata, "Ditusuk besi panas lebih baik daripada menyentuh yang bukan mahram."

Mendengar balasannya itu membuatku sadar akan kulit kita yang sedang bersentuhan. Aku sama sekali tidak menyadarinya hingga membuatku sangat merasa bersalah.

"Maaf," kataku cepat setelah dia menarik lengan tangannya untuk dilepas.

Fokusku teralih pada tangannya yang digosok-gosokkan ke bajunya berulangkali. Sementara tangan kirinya mengelap air matanya tadi.

Perempuan seperti ini, apakah pantas untuk dilepas? Di mana lagi aku menemukan yang seperti dia?

"Aku minta maaf, San."

Permintaan maaf terdengar lagi karena diamnya itu. Wajahnya masih terlihat sedih.

Mendengar sisa-sisa air yang turun dari baju yang basah membuatku sadar kembali kalau Sana belum mengganti pakaiannya.

"Kenapa kamu belum ganti baju, San? Nanti sakit, loh," ucapku, tidak bermaksud mengalihkan topik pembicaraan.

Sana masih saja bungkam dengan pikirannya yang entah di mana.

"Sana? Kamu nggak apa-apa, kan?" tanyaku untuk yang kesekian kali.

Wanita di depanku ini mendengus tiba-tiba setelah memejamkan mata sebentar. Seolah-olah dia sedang menahan amarahnya.

Jujur, tindakannya ini membuatku gugup. Aku memang melakukan kesalahan, tapi dia marah bahkan sebelum kejadian ini.

"Sana. Sana. Sana. Apakah dokter tahu seberapa muak saya mendengar nama itu?"

Suara tegasnya itu membuatku mengerjap.

"Dengan dokter yang terus memanggil nama saya tanpa maksud yang benar-benar perlu hanya membuat saya semakin tersiksa."

"Tiap satu kali lisan dokter mengeja nama saya itu hanya membuat saya semakin jauh dari kriteria wanita yang baik."

Perkataannya semakin sulit untuk dicerna. Aku hanya mampu terdiam dan menunggu ucapannya selesai.

LaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang