Bagian 16

44 7 0
                                    

"Bahkan yang sedekat nadi dengan Tuhannya masih mengalami depresi, bagaimana yang jauh?"
🍃🍃🍃

Sana duduk di atas dinding pembatas dengan bertumpu pada dua telapak tangannya. Tatapannya mengunci langit. Aku menemukan dua wanita malang malam ini yang sama-sama menatap langit untuk menyembuhkan kesedihannya.

Kenapa orang-orang sering sekali melihat ke langit saat sedang sedih? Apakah mereka benar-benar sembuh setelah menatap megahnya?

Duduk di dekatnya seperti ini sama saja sedang melakukan uji nyali. Tanpa mengatakan apa-apa, dia bangkit setelah menyadari keberadaanku. Tentu ini sedikit membuatku melongo.

"Boleh aku bertanya?"

Langkah wanita itu terhenti. Aku menganggapnya sebagai tanda setuju. "Kenapa kamu sok kuat? Kamu masih manusia. Kalau jatuh, ya ngaku sakit. Kamu boleh nangis di mana pun, bahkan sekalipun itu di tempat yang ramai. Aku tahu kamu kuat, but you're only human."

Tidak lama kemudian, tubuhnya itu berbalik menghadapku. Senyum hampanya terbentuk di wajah cantiknya.

"Dokter benar. Saya memang kuat, tapi saya cuma manusia biasa. Mungkin Anda belum tahu kalau tidak semua orang akan baik-baik saja saat orang lain tahu kalau dia sedang terluka. Ada sebagian orang yang malu ketika ketahuan sedang tidak baik-baik saja."

"Apa sekarang kamu sedang malu?"

Mendengar balasanku, tatapannya melongos disertai smirk-nya. Sedikit terkejut dengan responnya itu, tapi seperti yang aku katakan, dia masih manusia.

"Bagaimana dengan Anda? Bukankah hidup anda jauh lebih rumit?" katanya, berhasil membuatku bungkam.

Dia menghilang di tengah kebungkamanku. Yang dikatakannya itu benar, selama ini aku terlalu memaksa untuk baik-baik saja sampai terbiasa dan tidak sadar bahwa aku terluka. Akan tetapi, bukankah itu artinya aku berhasil?

Aku tidak beranjak. Hanya ingin mencoba bercengkrama dengan sunyi. Melihat seberapa istimewanya langit bagi mereka yang sedang terluka.

Benar, ketika memandangi langit, dadaku mencuat dan air mata jatuh tanpa sadar. Aku melihat bayang-bayang mama di atas sana. Senyumnya yang tidak pernah pudar sekalipun hatinya sedang memar.

Adakah wanita yang bahagia saat suaminya menikah lagi?

Tentu ada. Siapa lagi kalau bukan sosok yang melahirkanku. Tiga belas tahun lalu, saat aku baru lulus Sekolah Menengah Atas, mama sibuk mengurus sebuah pernikahan. Aku pikir itu untuk temannya, tapi ternyata acara tersebut untuk suami dan cinta pertamanya.

Katanya, ia melakukan ini agar suaminya itu bahagia. Karena tidak ada cinta pertama yang hilang sepenuhnya dari hati seseorang. Ia abadi di tempat yang memang khusus untuknya. Bullshit! Aku sama sekali tidak pernah merasakan itu semua.

Yang selesai, ya cukup hilang saja. Sama sekali tidak ada yang perlu dikenang atau bahkan diberikan tempat khusus karena begitu istimewa. Adakah kegagalan yang mendapatkan sebuah penghargaan?

Aku tidak bisa memberontak karena mereka menganggapku masih remaja yang tidak mengerti apa-apa. Dan sekarang? Haruskah aku diam saja?

Orang-orang melihatku hidup dengan baik karena mendapatkan kasih sayang yang cukup. Mereka tidak tahu, di balik seorang aku ada keluarga yang berantakan, hati yang tidak pernah sejalan, juga iman yang bertolak belakang.

Orang-orang memang akan menilai apa yang mereka lihat. Ketika mereka bilang hidupku berjalan tanpa beban, di situ aku bertanya dalam diam, aku yang terlalu pintar menyembunyikan luka atau mereka yang tidak ahli menilai palsu tidaknya sebuah tawa?

LaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang