Bagian 20

41 4 0
                                    

"Hidup sedang menempatkanku pada dua pilihan, bertahan dan menghadapinya yang penuh teka-teki atau mengakhirinya karena terlalu sakit diuji."
🍃🍃🍃

Terlalu licik untuk tidak menyambut pagi dengan senyuman. Seolah rasa syukur karena diberi kesempatan memulai hari telah hilang. Apa lagi berpapasan dengan orang yang dikenal. Rasanya bukan menjadi manusia jika wajah dibiarkan muram.

Ibunya Sana yang baru aku ketahui bernama Ranti itu memaksaku untuk tersenyum membalas sapaannya. Kami bertemu di lobi rumah sakit. Sepertinya Omar sudah diperbolehkan pulang. Tentu, di hadapanku sekarang juga ada makhluk paling abstrak seantero. Dia menuntun tangan Omar juga menenteng tas bajunya.

"Ayo saya antar pulang," ajakku canggung, setelah beranjak dari menyapa Omar. Anak ini terlihat senang saat melihatku meski tubuhnya masih lemas.

"Tidak usah, Dokter baru saja sampai."

"Bukan masalah. Saya senang berkendara."

"Tidak perlu, Dok. Kita punya uang buat naik taksi," timpal Sana.

Akhirnya dia berbicara. Akan tetapi, maksudku.. siapa yang bilang dia tidak punya uang?

Tante Ranti menyenggol Sana. Seolah menyampaikan jika perkataannya itu terlalu sarkas.

"Tugas dokter merawat pasien bukan kami," lanjutnya, berhasil membuat ibunya bertindak.

Dengan senyum rasa bersalah, Tante Ranti langsung menarik tangan Sana dan berpamitan nan terpaksa ramah. Kesannya, dia merasa tidak nyaman karena sikap putrinya sendiri.

Sementara aku masih speechless sampai tubuh mereka hilang ditelan pintu keluar. Maksudku, kemarin masih baik-baik saja. Mengapa sekarang berubah lagi menjadi macan? Ini membuatku heran. Apakah wajahku mengundang sifat dinginnya itu?

Aku menemukan orang-orang berekurumun di tengah jalan tatkala menuju ruanganku. Entah apa yang mereka lakukan.Banyak bisikan yang tidak jelas di antara mereka. Lebih tepatnya bergosip.

Tanganku menyisir jalan seraya tersenyum ramah dan tak lupa kata permisi. Dengan percaya dirinya maju tanpa ingin tahu apa yang terjadi. Namun, langkahku berhenti tatkala dua wanita sedang beradu mulut di tengah jalan.

Sama sekali tidak menngenal mereka, tapi untuk menerabas jalan, aku merasa tidak nyaman dan terkesan tidak sopan. Terpaksa menonton keduanya.

"Apakah harus pria yang sudah berkeluarga, Kak?" kata wanita yang lebih muda. Garis matanya tampak merah menahan amarah.

"Kamu nggak bakal ngerti," balas wanita lainnya dengan suaranya yang bergetar.

"Bagian mana yang nggak bisa aku mengerti? Kakak yang menjadi perusak rumah tangga orang atau dunia yang sudah kehabisan pria lajang?" sindir keras adiknya.

"Kita bicarakan di rumah."

"Hah? ibu kritis karena perbuatan kakak. Nggak ada waktu buat bicara baik-baik. Batalin pernikahan itu atau kakak melihat jasad ibu tepat di hari pernikahan kalian."

"Kamu tahu apa tentang hidup, hah? Nggak semudah ancamanmu itu dan nggak pernah se-sederhana pola pikirmu!"

"Apa karena uang?"

"Kamu sudah keterlaluan, Vidya!" katanya setelah menampar keras pipi lawan bicaranya. Lalu, dia menyingkir entah ke mana.

Sepagi ini sudah menonton drama keluarga gratis secara nyata. Drama yang terjadi di kehiduapn nyata pula.

Namun, kejadian ini membuatku ingat Papa. Apakah ada alasan khusus kenapa perempuan itu memilih pria yang sudah beristri dua?

🍃🍃🍃

LaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang