20 : Luka Tamara

364 33 0
                                    

Gadis itu menatap pintu hitam itu lama. Menunggu seseorang yang masuk sejak lima belas menit yang lalu. Suasana di sekitarnya begitu sepi, hingga yang terdengar hanyalah suara helaan napas panjang dirinya sendiri.

Ceklek.

"Ikut gue." Tamara terlihat sedikit kaget, namun gadis itu tetap menuruti permintaan dari sepupunya.

Deeva berhenti di lorong toilet.

"Mau Lo itu apa sih?"

Tamara menatap Deeva dengan tatapan tak mengerti. Karena memang ia sama sekali tak mengerti apa yang dimaksudkan oleh sepupunya.

"Lo ngomong apa sih Dee? Ngga ngerti gue."

Deeva tersenyum miring.

"Kenapa tadi Lo dateng? Kenapa Lo harus narik rambut Rasya? Kenapa Lo sok-sokan belain gue?"

Deg.

Hatinya mencelos sakit. Tamara kira, Tamara kira Deeva mengkhawatirkan keadaannya. Tamara kira Deeva akan mengucapkan ucapan terimakasih atas pembelaan yang Tamara lakukan. Tamara kira setelah dirinya merelakan diri mendapat julukan si pembuat onar, hubungannya dengan Deeva akan sedikit membaik.

"Kenapa? Karena Lo itu sepupu gue, kita itu keluarga. Gue ngga terima liat Lo dikata-katain gitu, gue ngga mau Lo sakit ati karena omongan jahat mereka Dee. Gue ngga mau liat lo terluka sedikit pun. Apa gue salah? Apa gue salah belain sepupu gue sendiri?"

Jelas salah. Batin Deeva. Sebab Deeva tidak butuh pembelaan dari siapa pun. Sebab bagi Deeva pembelaan hanya untuk mereka yang melakukan kesalahan. Sedang Deeva tidak demikian. Deeva tidak melakukan kesalahan, Deeva tahu dirinya benar.

"Iya, Lo salah."

Mendengar kalimat itu, mata Tamara memanas, ada sesuatu yang siap melesat. Benar bukan? Semua yang dilakukan Tamara hanyalah kesia-siaan belaka. Semua yang dilakukan Tamara adalah percuma. Sebab bagi Deeva, Tamara tak ubahnya hanya orang asing.

"Gue emang selalu salah, gue selalu salah di mata Lo. Cuma Lo, cuma Lo yang selalu bener."

Tes.

Tes.

Tes.

Air mata itu akhirnya luruh juga, membasahi luka yang ada di pipinya. Perih, satu kata yang menggambarkan apa yang dirasakan oleh Tamara saat ini. Bukan karena luka cakaran, melainkan luka yang ada di hatinya. Luka yang diciptakan oleh sepupunya. Tunggu. Lebih tepatnya luka yang Tamara ciptakan sendiri.

"Gue minta sama Lo, mulai sekarang, berhenti ikut campur urusan gue." Ucap Deeva penuh penakanan. Setelahnya ia segera keluar dari lorong toilet, meninggalkan Tamara yang menangis pilu sendirian.

Katakan saja Deeva jahat, Deeva pun mengakui itu. Semua manusia itu jahat, hanya saja mereka mempunyai berbagai macam cara menunjukkan kejahatannya. Dan seperti itulah cara Deeva menunjukkan sisi jahatnya.

"Lebih baik keliatan jahat daripada pura-pura baik." Lirihnya.

Deeva terus berjalan, berjalan, dan berjalan hingga tanpa sadar kakinya membawanya ke taman yang menghadap ke pancuran air besar yang menjadi ikon sekolahnya. Gadis itu kemudian duduk di kursi panjang seorang diri.

Matanya menyiratkan rasa lelah, lelah yang tak sudah-sudah. Mengapa selalu ada yang mengganggu kehidupan Deeva? Padahal Deeva sudah sekuat tenaga untuk menjauh atau menghindar dari membuat masalah dengan orang lain. Deeva ingin tenang, Deeva ingin tidak ada siapa pun yang mengaggunya.

***

Di waktu yang sama, Samuel dan Nathan berjalan beriringan membawa setumpuk buku paket yang akan dikembalikan ke perpustakaan. Keduanya tidak banyak bicara, karena memang mereka berdua tidak begitu akrab meskipun selalu bersama-sama. Hal itu dipicu karena Sam tidak suka bicara, sedang Nathan tidak suka diam. Mereka ibarat kutub utara dan kutub selatan, berbeda namun saling saling tarik menarik jika didekatkan.

SBBS #1 | Lengkap ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang