36 : Hal Mengejutkan

326 31 0
                                    

Bugh.

Pukulan itu berhasil membuat Davin terhuyung ke belakang menubruk pintu yang baru beberapa detik lalu ia tutup. Ujung bibirnya mengeluarkan darah segar karena saking kerasnya pukulan itu. Belum sempat ia berdiri, orang yang memukulnya tadi sudah menarik kerah seragamnya secara paksa, memaksa Davin untuk lekas berdiri. Dan ketika Davin sudah berdiri, dipukulnya lagi hingga Davin kali ini terkapar di lantai.

Tar.

"Pa!" Seru Lina yang baru saja keluar dari dapur, beberapa kue dan teh yang ia bawa tercecer di lantai. Tak lama, Lina pun berlari menghampiri putra kesayangannya.

"Nak, Davin, kamu ngga kenapa-napa sayang?" Katanya panik. Davin hanya menggeleng pelan, mencoba tetap tenang agar keadaan tak semakin runyam.

"Pa, tadi papa janji sama mama, kan? Ngga akan lukai Davin?" Ujar Lina mengingatkan kembali ucapan suaminya dua jam yang lalu.

"Dia anak kurang ajar!"

"Davin pasti punya alasan, Pa. Jang-,"

"Alasannya tentu karena perempuan bodoh yang dia ajak ke rumah waktu itu."

"Pa! ini bukan salah Deeva!"

"Papa ngga mau tau, kalau sampai kamu bolos bimbingan sekali lagi, papa ngga segan-segan buat pindahin kamu ke luar negeri." Setelah mengatakannya Herlambang berlalu dari hadapan istri dan anaknya.

"Davin, maafin mama ya sayang..."

Ini adalah kali ketiga, laki-laki yang Davin panggil sebagai papa melukai dirinya. Davin masih ingat, papanya memukulinya karena Davin tidak berada di posisi pertama saat menerima raport. Rasanya sama, menyakitkan. Sangat menyakitkan. Karena setelah itu, Linalah yang selalu meminta maaf.

"Ini salah Davin, Ma."

Sebenarnya bukan karena Deeva, Davin membolos bimbingan belajar. Dua minggu ini, secara diam-diam, Davin sibuk mempersiapkan test untuk beasiswa ke luar negeri. Ya, secara diam-diam tanpa sepengetahuan papanya dan juga sang mama. Davin akan menjadikan cita-cita papanya sebagai rencana pertama, dan menjadikan cita-cita dirinya sebagai rencana kedua.

"Deeva?"

"Iya?"

"Lo punya cita-cita?"

"Ada. Gue pengin selamanya hidup damai sama papa."

"Bukan itu maksud gue."

"Profesi?" Davin mengiyakan pertanyaan Deeva.

"Gue pengin ngerjain apa aja yang gue suka."

"Yang jelas... Deeva..."

"Intinya, apa pun profesi gue nanti, papa pengin gue jadi perempuan yang mandiri dan pemberani."

"Jadi, papa Lo ngga nuntut ini dan itu."

Deeva mengangguk, "Seperti yang Lo lihat."

Davin terdiam. Menatapi minumannya yang sama sekali belum tersentuh.

"Lo juga harus gitu ya."

"Apa?" Davin menatap Deeva bingung.

"Lo juga harus kejar apa yang Lo suka, bukan apa yang orang lain ingin lihat."

Ucapan Deeva kala itu terbukti menyihir seorang Davin Rafandra. Meskipun tidak sepenuhnya, tapi, berkat ucapan Deeva, Davin menjadi sadar bahwa dirinya juga berhak memilih dan menentukan masa depannya. Berkat Deeva, Davin menjadi berani mengambil jalan yang tak sejalan dengan sang papa. Meskipun Davin tahu, kalau pilihannya bisa saja tidak akan pernah tercapai, sebab sang papa memiliki pengaruh yang amat besar baginya.

SBBS #1 | Lengkap ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang