34 : Masa Kecil Deeva

323 33 0
                                    

Tentang masa kecil. Semua orang punya masa kecil. Masa di mana bahagia adalah tentang tertawa, dan sedih adalah linangan air mata. Masalah hanya perihal merengek karena keinginan yang tak dituruti. Itu bagi anak kecil. Lantas anak kecil biasanya disuruh bermain, disuruh tidur siang, dan disirami kasih sayang orang tuanya sepanjang hari. Seharusnya siklus anak kecil seperti itu. Tapi tidak dengan Deeva.

Kasih sayang adalah dua kata manis yang sering digaungkan orang tua kepada anak kecilnya. Katanya mereka sayang anak mereka, katanya anak mereka adalah mutiara yang mesti dijaga, katanya lagi, anak-anak adalah harta mereka yang paling berharga. Lagi-lagi, Deeva hanya bisa tersenyum kecut untuk kata-kata itu.

Sebab masa kecilnya berbeda. Siklus masa kecilnya dipenuhi dengan kata mengapa. Mengapa Deeva sendirian, mengapa mama pulang larut malam, mengapa mama tidak ada saat Deeva bangun tidur, mengapa papa yang menyuci rambut Deeva, mengapa mama tidak pernah memeluk Deeva, mengapa Deeva sering sendirian di rumah.
Memang begitu.

Bagi Deeva masa kanak-kanak tidak ada maknanya apa-apa, tidak ada yang Deeva rindukan, tidak ada yang ingin Deeva ulang. Masa kecilnya ibarat kunci yang dibuang di tengah lautan, Deeva tak akan mencari, Deeva sudah tidak membutuhkannya lagi. Satu hal saja yang pasti Deeva sukai dari masa kecilnya, yaitu ia selalu bersama sang papa.

“Ya, gitulah masa kecil gue, suram. Tapi sejak ketemu sama Rima kemarin, gue ngerasa lebih bisa menerima masa kecil gue. Setidaknya gue lebih beruntung, masih ada papa yang selalu ada di samping gue.” Tukas Deeva mengakhiri ceritanya yang mengalir tanpa Davin pinta.

"Syukur deh, ada pelajaran yang bisa Lo ambil dari kunjungan kita ke rumah Delima kemarin."

Deeva mengangguk setuju.

“Eh tunggu dulu, dari cerita Lo barusan gue masih belum paham tentang nyokap Lo. Nyokap Lo masih ada?” Tanya Davin.

“Emang gue pernah bilang kalo gue punya nyokap?” balas Deeva.

“Jangan gitu Deeva. Jawab pertanyaan gue dengan serius.” Ujar Davin hati-hati.

Deeva menghembuskan nafasnya lelah. Ia benci dengan topik pembicaraan seputar orang-orang yang dia tak suka. Deeva benci mengingat segala sesuatu yang melukainya di masa lalu. Bagi Deeva luka akan sembuh bila tidak diingat. Sama dengan masa kecilnya. Masa kecil Deeva adalah luka. Dan wanita yang pernah hadir pada masa kecilnya adalah bagian dari luka itu sendiri. Sekali pun wanita itu pernah menjadi orang spesial di dalam hidupnya.

Karena Deeva tak kunjung merespon pertanyaannya, Davin memilih bangkit. Bukan untuk pergi, melainkan ingin memperbaiki mood gadis itu yang terlihat buruk semenjak Davin mulai menyinggung soal ibu dari si gadis. Davin tahu, bukan tanpa sebab Deeva membenci seseorang, tapi bagi Davin, ibu adalah segalanya, dan Deeva harus tahu akan hal itu. Setelah membeli sesuatu, Davin kembali menghampiri Deeva yang masih duduk termenung di bangku kantin yang sama.

“Nih.”

“Eh?”

Melihat apa yang dibawa oleh Davin, Deeva melengos. Bukan karena Deeva tak menghargai pemberian orang, tapi Deeva memang sungguh tidak suka dengan apa yang diberikan oleh Davin sekarang.

“Lo tau kan? Gue ngga suka susu cokelat.”

Bukannya kesal mendapat penolakan kasar Deeva, Davin malah tersenyum. Ia tahu Deeva tak suka susu cokelat, dan ia memang sengaja membelikan susu cokelat itu untuk Deeva. Aneh sekali bukan?

“Buru minum.” Ucapnya setelah menusukkan sedotan pada lubang kecil pada susu kotak tersebut.

Deeva tak bergerak. Deeva tak suka dipaksa. Apalagi perihal makanan. Cukup papanya saja yang selama ini memaksa Deeva untuk makan ini dan itu, orang lain jangan.

SBBS #1 | Lengkap ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang