6 : Keluarga Bahagia

889 75 0
                                    

Pintu kamar berwarna hitam itu berderit, seorang wanita paruh baya masuk dengan langkah hati-hati mendekati putranya yang sudah tertidur pulas di sofa. Lina. Melepaskan sepatu yang masih terikat sempurna di kaki anaknya, melepas kaos kakinya, yang terakhir membawa kaki anaknya yang menjulur ke lantai untuk dinaikkan ke atas sofa.

Memberikan kenyamanan. Sekiranya itulah naluri seorang ibu ketika bersama dengan buah hati mereka. Lina lekas bangkit dari posisinya yang berjongkok di sebelah sofa, beralih mengambil selimut tebal yang dilipat rapi di ujung ranjang. Wanita itu lekas membentangkannya, meletakkannya di atas tubuh sang anak.

Ditatapnya wajah itu lama. Wajah kelelahan. Lagi, Lina bertumpu pada kedua lututnya di sebelah sofa berwarna abu itu. Tangannya yang halus, membelai lembut pipi anaknya, naik mengusap lingkar matanya yang dipenuhi gurat kelelahan. Sekali lagi, Lina hanya mampu menurut tanpa berani sekalipun menuntut.

Suaranya seakan hanya sampai ke tenggorokan, tertahan di sana sampai waktu yang entah kapan akan diketahui kala ia ingin melarang kekeraskepalaan suaminya. Usai menatapi wajah tampan putranya, wajahnya mendekat, memberi kecupan singkat di dahi yang sedikit tertutupi beberapa helai rambut.

Baru ketika ia beranjak memutar badan, sebuah tangan melingkari pergelangannya, memintanya untuk tidak pergi. Lina tersenyum, kembali memutar badan menghadap ke arah sofa. Mata Davin sudah terbuka sempurna.

“Kamu pasti capek banget yah?” Tanyanya.

Lina lekas duduk di sisa-sisa sofa yang masih kosong.

“Nggak kok Ma.. Siapa bilang Davin capek? Davin justru bahagia liat mama papa selalu bahagia.”

“Mama lebih bahagia kalo liat kamu bahagia.”

“Davin udah bahagia Ma.”

Bahagia. Sebenarnya Davin sendiri tidak tahu benar apa arti dari satu kata itu. Mungkin tidak hanya Davin, tapi juga Lina mamanya atau orang-orang di muka bumi. Entah kebahagiaan macam apa yang keduanya maksud, karena sejatinya bahagia adalah ekspresi diri dari seseorang yang berhasil mengecup nikmatnya hidup walau hanya secuil.

Entah nikmat hidup yang semacam apa, yang jelas Davin terus memaksa untuk mengatakan bahwa dirinya bahagia dengan segala sesuatu yang berhasil berada dalam genggamannya. Entah itu karena memiliki orang tua yang terpandang dan serba ada, teman-teman yang selalu ada serta mendukung, atau juga prestasi-prestasi yang telah dicapai selama ini. Davin menganggap itu semua kebahagiaannya.

“Kamu buruan mandi, mama udah nyiapin makan malam di bawah.” Kata mamanya yang kemudian berhasil membangunkan Davin dari konsep bahagia versinya.

Davin mengangguk disertai ulasan senyum manis, membiarkan sang mama berlalu dari kamarnya. Cowok itu lantas bangkit, mendekati ke arah cermin yang berada di sudut kamar, mamatut diri di hadapan cermin itu, lalu terdiam beberapa saat, seraya meyakinkan diri bahwa selama ini hidupnya bahagia. Cowok itu kemudian beranjak ke kamar mandi.

Hanya butuh waktu lima menit, Davin sudah keluar dari kamar mandi dengan handuk yang melilit di perutnya. Cowok itu mengambil dua helai penutup tubuhnya, yaitu kaos oblong berwarna maroon dengan celana katun selutut berwarna hitam. Setelah mengenakannya, ia keluar, turun ke lantai dasar menghampiri Lina yang duduk sendirian di meja makan.

“Papa mana Ma?” tanyanya sembari menarik kursi yang berada di sebelah kanan meja.

“Papa masih di atas, kita tunggu sebentar ya?”

SBBS #1 | Lengkap ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang