[Tolong jangan baca ini jika harus berhenti di tengah-tengah] !
***
Medan, 1963
"Hei, Putri Pak Chamim," sapa Pras usil sembari menyenderkan bahu kanannya ke bingkai pintu depan rumah yang memang senantiasa dibiarkan terbuka.
Entah sudah untuk yang ke berapa kalinya Pria itu berhasil menggangguku tiap pagi satu pekan ini. Kurasa dia akan membawakan kabar yang sama seperti sebelum-sebelumnya, tentang hal yang sama sekali tidak memancing perhatianku. Setidaknya untuk saat ini, aku tidak tertarik dengan tawaran Pras yang hendak memperkenalkanku dengan seorang kawannya. Bahkan setelah Pras mencoba merayuku beberapa kali dengan mengatakan, aku yang menurutnya cantik akan serasi dengan kawan yang ia maksud. Keputusanku tetap sama, aku tidak ingin menemui siapapun.
Sudah hampir satu pekan, Pras selalu datang ke rumah sembari mengatakan hal serupa. Jujur saja, aku sudah mulai bosan mendengarnya.
Apa Pras tidak punya hal lain yang bisa dia katakan?
"Pras, untuk apa lagi kau ini datang pagi-pagi sekali menemui putriku?" Dari balik selambu yang memisahkan ruang tamu dengan bagian dalam rumah, Ibu tiba-tiba muncul dan menyahut. "Kuberitahukan pada ayahnya si Rukmini, lho, ya."
Meski dari nadanya, Ibu tidak benar-benar serius mengatakan hal itu kepada Pras. Namun, kulihat Pras justru menunjukkan mimik wajah pura-pura takut. Ada-ada saja dia.
"Ibu ini tidak bisa diajak berkompromi, ya," katanya lesu.
"Ah, malas kalau diajak bekerjasama denganmu, Pras," balas Ibu yang memang senang sekali meladeni ucapan Pras.
Setengah tertawa Pras bertanya. "Mengapa memangnya, Bu?"
"Sering tidak ada hasilnya," jawab Ibu seraya mengambil posisi duduk di kursi yang sama denganku.
Pagi-pagi seperti ini, aku memang paling senang membantu Ibu menjahit. Selain memasak, kata Ibu—aku cukup terampil menjahit dan menyulam. Sesekali, ada saja tetangga yang meminta untuk dijahitkan pakaian mereka. Lumayan, uangnya bisa kutabung untuk dipakai sewaktu-waktu.
"Kali ini tidak, Bu. Pasti ada hasilnya." Pras mengambil tiga langkah masuk ke dalam ruang tamu rumah setelah meninggalkan alas kakinya di depan pintu. Dari raut wajahnya, ia tampak begitu antusias.
Kursi yang berada di seberang tempatku dan Ibu duduk berderit ketika Pras memilih duduk di sana. Kepalanya lebih dicondongkan ke depan, seperti hendak berbicara hal yang teramat penting. Padahal aku tahu apa yang akan dibicarakannya kepada Ibu.
"Apa, toh, hasilnya?" Ibu yang tadinya sibuk melipat beberapa pakaian yang sudah kujahit langsung memusatkan atensinya kepada Pras.
Sepertinya Ibu penasaran sekali mengingat selama ini, Pras hanya membicarakan soal usulannya yang akan memperkenalkanku pada kawannya padaku saja. Pun aku tidak pernah membahas hal ini kepada Ibu. Ya, karena menurutku memang tidak terlalu penting.
Aku tersenyum lama, memperbaiki posisi selembar pakaian yang terhampar di pangkuanku sebelum akhirnya melanjutkan menjahit. "Itu, Bu. Pras hendak memperkenalkan Rukmini dengan kawannya," jawabku sesekali menoleh singkat ke arah Ibu dan Pras secara bergantian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tu Me Manques [Finished]
Historical FictionTidak ada seorang pun yang mau disuruh mengerti ketika dihadapkan oleh perkara kehilangan. Tidak seorang pun termasuk aku. "Kau tahu, Ni. Aku tidak masalah jika harus gugur untuk Negara tercinta kita ini. Tapi, setelah denganmu, jika bisa aku ingin...