Cokelat

126 27 0
                                    

Seorang Pierre berdiri tepat di depanku dengan lengkungan senyuman tipis dan lesung yang membelah kedua pipinya.

Apa aku tidak salah lihat? Pierre ada di gubuk baca?

"Pierre, kenapa di sini?" Aku bertanya dengan perasaan heran bercampur senang. Tapi, lebih besar ke senangnya.

"Mengikutimu," katanya singkat, tanpa memgalihkan arah pandangannya sekalipun terhadapku.

Aku mengerutkan dahi, seratus persen tidak mengerti. "Sejak bila?"

"Sejak aku pergi ke rumahmu dan kau tidak ada," jawab Pierre.

"Tahu aku di sin—" Belum sempat aku menyelesaikan kalimat pertanyaanku untuk Pierre, aku sudah memikirkan jawabannya. "Ibu yang memberitahu?"

Pierre tersenyum lebar lalu mengangguk. "Ni, bukan begitu cara membuat anak-anak mengerti."

"Maksudmu?"

"Lihat ini." Tanpa menjawab pertanyaanku baru saja, Pierre melepas alas kaki yang ia gunakan dan duduk bersama adik-adik gubuk baca yang masih bergaduh.

Aku memandangi Pierre tidak mengerti.

Kali ini, Pierre akan melakukan apa untuk membuatku kembali jatuh cinta?

"Hei, Mas punya cokelat. Siapa yang mau?" Pierre bertanya dengan suara lebih lantang sambil mengacungkan sebatang cokelat di depan mereka.

"Aku mau!"

"Nining mau juga!"

"Mau!"

Sudah pasti mereka mengangkat tangan mereka tinggi-tinggi, ingin cokelat yang ada di tangan Pierre.

Aduh, Pierre. Tanpa sengaja dia membuat keadaan semakin runyam. Mereka memang sudah tidak bertengkar karena gambar bintang lagi. Tetapi, sekarang berebut cokelat yang hanya ada sebuah.

"Mas mau membuat perlombaan, siapa yang bisa membuat Bintang seperti yang Mbak Ni ajarkan, dia berhak mendapatkan cokelat ini."

"Mau! Mbak Ni, ayo ajarkan membuat bintang!" Uday menyeru tidak sabar padaku disusul kawan-kawannya yang lain.

Aku memandang Pierre lamat-lamat, pemuda itu tersenyum. Ada yang ingin kukatakan padanya. Tapi, Uday, Nining, Sina yang merasa paling berhak mendapatkan cokelat dari Pierre kembali mendesakku agar segera mengajarkan mereka menggambar bintang.

Maka mau tidak mau, aku menurut saja.

"Pertama-tama buat dua garis seperti kita akan membuat huruf 'a' kapital," kataku seraya memberikan contoh secara langsung kepada mereka.

Seperti dugaanku sebelumnya, mereka begitu seksama memperhatikanku dari awal hingga akhir. Aku mengajari sampai mereka benar-benar paham. Kurang lebih, aku menggambar sampai enam kali.

Setelah mengajari dan membiarkan mereka berusaha membuat bintang, aku mulai mendekati Pierre yang baru selesai mengajari Nanik. Dari raut wajahnya, ia betul-betul menikmati waktu bersama anak-anak.

"Pierre, terima kasih sudah membantuku," ucapku.

Menyadari nada tidak biasa dariku, Pierre bertanya. "Mengapa terlihat cemas? Ada yang salah?"

"Tidak. Hanya saja, bagaimana kalau setelah ini mereka akan bertengkar karena hanya akan ada satu yang bisa mendapatkan cokelat darimu?" ungkapku bingung.

Pemuda yang hari ini tampak rapi dengan pakaian casual baju hijau dan celana hitam itu tersenyum lebih lebar.

"Tenang saja, aku menyimpan banyak cokelat di jok motor yang kubawa. Tahu kau ke mari untuk mengajari anak-anak ini, aku sengaja membelikan mereka cokelat," jelas Pierre menenangkanku.

Tu Me Manques [Finished]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang