______________________________
Untuk, Pierre Tendean
Di tempatPierre, senang mendengar kau akan
datang besok. Maaf aku baru membalas
Suratnja hari ini. Tapi, ada jang harus ku-
katakan padamu. Ibu & ajah turut ikut
besok. Aku pikir Danau Toba tempat jang
bagus. Kuharap, besok bukan terachir
kalinja kau datang.Dari, Rukmini
______________________________"Oh, jadi Ayah dan Ibu akan ikut bersamamu berkencan dengan Pierre?" tanya Pras waktu dia keluar dari pintu rumah sambil membawa suratku untuk diberikannya kepada Pierre.
Mendengarnya, mataku melotot terkejut. "Kau membacanya? Sungguh?"
"Sedikit," kekehnya seraya tersenyum kecil. "Tapi, apa itu benar?"
Aku menunduk, pikiranku melayang jauh.
Memang aku bisa apa?
Ibuku terlihat bersemangat mengatakan akan ikut bersama kami, aku dan Pierre. Mana bisa aku tidak mengijinkan. Di sisi lain, aku takut Pierre keberatan. Bagaimana pun, ini adalah kencan kami yang pertama. Bisa dibilang begitu. Terasa aneh kalau Ayah dan Ibu memutuskan ikut. Kemungkinan baik, Pierre tidak akan mempermasalahkannya. Kemungkinan buruk, Pierre keberatan. Lalu, kemungkinan paling buruk, Pierre tidak akan mau datang ke rumah lagi.
"Aku tidak tahu, Ibu meminta demikian," jawabku lesu.
Mendengar nada tak biasa dari jawabanku, sepertinya Pras mengerti bahwa aku sebenarnya tidak menginginkan keputusan Ibu.
Pras terdiam sejenak di atas motornya, dia memang hendak pergi menemui Pierre. Selain ada urusan, juga mengirimkan suratku padanya. Aku terus memperhatikan Pras yang sudah tampak rapi menggenakan setelah kemeja formal, sengaja menunggunya sampai ia benar-benar pergi, ingin melihat saja bagaimana suratku di tangannya mengarungi perjalanan untuk sampai di tangan Pierre kemudian.
"Tenang saja," katanya yang membuatku mendongakkan kepala untuk menatapnya. "Serahkan saja padaku."
"Apa?" Aku menelisik wajah Pras penuh rasa ingin tahu.
"Aku akan membantumu membuat Ibu dan ayahmu tidak jadi ikut bersamamu dan Pierre," sahut Pras sungguh-sungguh.
Meski aku tidak tahu apa yang Pras rencanakan dan bagaimana ia bisa membantuku, tidak bisa dipungkiri bahwa aku mulai sedikit tenang mendengarnya. Pras memang seperti itu, dia seperti kakakku yang selalu bisa diandalkan.
"Benarkah?" Aku bertanya penuh harap.
"Tentu saja," jawabnya.
"Kalau begitu, beritahu juga Pierre mengenai kau akan membantuku membuat Ibu dan Ayah tidak jadi ikut."
Pras mengerutkan dahi. "Mengapa?"
"Aku khawatir Pierre merasa tidak nyaman ketika mengetahuinya," ungkapku terus terang.
"Pierre bukan pria yang seperti itu." Pras tertawa kecil. "Dia tidak akan menjadikan hal itu sebagai persoalan. Dia tipe orang yang tidak neko-neko. Lagipula dia bakal senang kalau tahu ayah dan ibumu ikut."
Alisku terangkat mendengar ucapan Pras yang sangat berbanding terbalik dengan apa yang sejauh ini kuperkirakan. "Mengapa bisa begitu?"
"Aku mengenal Pierre lebih jauh darimu, Ni. Aku yakin, dia akan gembira mendengar keputusan Ibumu. Dengan begitu, Pierre menjadi lebih dekat dengan keluargamu terutama Ayah."
Aku menghembuskan napas lega. "Syukurlah."
"Kalau begitu, aku akan pergi. Kau masuklah dahulu untuk temui Ibuku, dia ingin seseorang membaca surat-surat yang ia buat." Pras mulai menghidupkan mesin motornya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tu Me Manques [Finished]
Historical FictionTidak ada seorang pun yang mau disuruh mengerti ketika dihadapkan oleh perkara kehilangan. Tidak seorang pun termasuk aku. "Kau tahu, Ni. Aku tidak masalah jika harus gugur untuk Negara tercinta kita ini. Tapi, setelah denganmu, jika bisa aku ingin...