"Nasinya jangan biarkan dingin di atas meja. Makanlah olehmu, Ni. Ibu hendak pergi ke rumah Bu Wati. Ingin mengirim nasi untuknya," kata Ibu seraya menyambar selendang hijau dengan manik-manik bunga pemberian Ayah.
Kulihat Ibu masih melilitkan selendangnya untuk dijadikan penutup kepala. Sementara itu, aku mengangguk pelan sembari menyenderkan bahu di dinding dapur.
"Ni, kau harus makan banyak agar tidak terlihat sangat kurus. Ingat 'kan, beberapa bulan lagi kau akan resmi menjadi Istri Pir." Sebelum berjalan melewatiku, Ibu menyempatkan diri untuk mencolek kecil daguku.
Sudut bibirku tertarik ke atas. "Ni sepertinya sedikit demam, Bu."
"Karena rindu si Pir karena dua bulan tak kemari barangkali," goda Ibuku yang tak henti-hentinya membuatku tersipu.
"Serius, Bu," rajukku.
"Masih demam?" Ibu berhenti berjalan, menoleh ke arahku. "Sudah kompres dahimu?"
"Belum," jawabku jujur. "Ni tak suka dikompres."
"Kalau tak mau dikompres, artinya kau harus sanggup sakit." Ibu menceletuk.
"Ya sudah, setelah makan akan Ni kompres." Aku akhirnya menyerah, tak mau membantah kata-kata Ibu.
Ibu mengangguk puas. "Makan, kompres, dan istirahatlah yang cukup. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumussalam."
Pintu tertutup.
Aku mengulurkan tangan, meraih teko air dan menuangkannya dalam gelas. Gelas yang sudah terisi air di depanku hendak kuminum kalau-kalau bunyi dobrakan pintu tidak tiba-tiba menggelegar mengejutkanku. Selanjutnya, suara sobekan terdengar memekakkan telinga.
Selambu depan terbuka, berkibar-kibar karena tiupan angin yang cukup keras. Aku melongok dari dapur, mendapati pintu terbuka lebar sehingga daun-daun kuning yang berasal dari pohon palem tetangga sebelah terbawa masuk ke lantai rumah. Alhasil, ruang tamu rumah kami menjadi kotor. Penuh dengan dedauan kering dan debu-debu dari luar.
Tanganku yang hendak menyentuh segelas air kuurungkan. Aku paling tak suka makan atau minum dengan keadaan rumah kotor. Entahlah, tak nyaman saja. Maka, aku memutuskan untuk membersihkan daun-daun itu lebih dahulu sebelum mengerjakan perintah Ibu untuk segera makan.
Aku berjalan tenang, menangkap selambu penghubung ruang tamu yang masih berkibar-kibar hingga menimbulkan suara sobekan.
Rambut ikalku bergerak bebas. Mataku menyipit. Apa cuaca di Medan sore ini memang kurang baik? Dari manakah angin kencang ini berasal?
Setelah mengaitkan selambu agar tidak terjuntai bebas dimainkan angin, aku meraih sapu yang menggantung di dinding balik pintu. Daun-daun dan debu yang menyebar di mana-mana kubersihkan. Meski rasanya susah juga karena angin berulangkali kembali membawanya masuk.
Merasa sia-sia. Aku lantas melakukan sesuatu. Sesuatu yang seharusnya kulakukan sejak awal, menutup pintu.
"Ni."
"Rukmini."
Tapi, sebelum benar-benar menutup pintu, aku merasa telingaku tengah mendengar sesuatu. Suara yang kudengar sayup-sayup memanggil namaku dari luar.
Bulu kudukku tiba-tiba meremang.
Lama berpikir, aku akhirnya memilih untuk tak terlalu memikirkannya. Siapa yang tahu bahwa suara itu berasal dari desiran angin? Atau halusinasiku semata karena saat ini, aku sedang menderita karena demam?
Ah, sudahlah.
Pintu kututup rapat dan suara sayup-sayup itu tidak kudengar lagi.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Tu Me Manques [Finished]
Historical FictionTidak ada seorang pun yang mau disuruh mengerti ketika dihadapkan oleh perkara kehilangan. Tidak seorang pun termasuk aku. "Kau tahu, Ni. Aku tidak masalah jika harus gugur untuk Negara tercinta kita ini. Tapi, setelah denganmu, jika bisa aku ingin...