[Kisah ini hanyalah karangan fiktif belaka yang tidak ada sangkut-pautnya dengan tokoh asli]
.
"Ni ..."
"Rukmini, kekasihku."
Seketika napasku tercekat ketika sepasang telinga tuaku menangkap gelombang suara yang terus memanggilku tanpa henti, berhasil memenuhi kepalaku—
—juga menciptakan gejolak yang rasanya begitu familiar; telah terlampau lama terkubur bersama peti mati sang ajudan setia yang namanya selalu bertengger hampir di seluruh surat kabar tahun enam puluh lima.
Ah, suara itu!
Tak sadar, aku merasakan sesuatu yang basah menuruni pipi keriputku. Tubuhku bergetar, merasa tak kuasa bahkan untuk sekedar membayangkan sosok pemilik suara itu di dalam kepalaku.
"Ni." Suara itu muncul kembali. Kali ini terdengar lebih dekat, sangat dekat.
Dan sontak saja, aku histeris dalam kebisuan.
Renta ini sungguh menyiksa. Pengelihatanku yang semakin buruk tidak berhasil menemukan sosok yang kucari. Dia tidak ada di sudut manapun yang bisa mataku jangkau.
"Rukmini."
Hingga kurasakan embusan angin yang mengirim aromanya sampai pada pintu penciumanku menjadi awal mula ketidakwarasanku kian merajalela.
Sebab di detik yang sama, kilatan cahaya seakan menusuk kedua mataku. Sangat menyilaukan dan menyakitkan bahkan setelah aku berusaha menghindarinya. Sekitar delapan detik, cahaya itu mulai memudar.
Dan sebingkis hadiah terbaik dari Tuhan kuterima dengan penuh sukacita, samar-samar pandanganku berhasil menangkap siluet seseorang yang selama ini kukira tak akan pernah bisa kembali kujumpai
"Pierre," cicitku tersendat. Air mataku kembali mengucur deras hanya dengan memanggil namanya. "Kaukah itu?"
"Ya, Ni." Dia menjawab dengan suara rendahnya.
Tak ada yang bisa kulakukan lagi selain menangis. Suaranya masih sama, tak berubah sama sekali seperti terakhir kali kami berbincang di pelataran rumah naungan langit Medan.
"Hai, kau sudah tiba saja di sini," sambutnya riang. "Bukankah surga ini lebih indah dari senja sore itu, Ni?"
Pierre tertawa lepas. Aku mendengar suara tawanya, begitu bebas tanpa menanggung sakit akibat peluru yang bersarang di tengkuknya, sakit akibat ujung runcing bambu yang mendobrak dahinya, atau seribu sayatan yang memenuhi sekujur tubuh. Semua yang kukhawatirkan sejak kematiannya itu seketika raib bersamaan dengan kudengar jenaka tawanya.
Ya Tuhan, tolonglah.
Hambamu yang pernah tercabik perkara kehilangan ini, jangan biarkan hal itu terulang untuk yang ke sekian lagi.
Bolehkah aku menjadi egois untuk kali ini? Dengan tidak membiarkan pria ini pergi seperti waktu puluhan tahun silam?
Bolehkah, Tuhan?
Tolonglah.
"Ni, hei. Tak senangkah kau bertemu kami?" Pierre bertanya, tanpa pernah melepaskan untaian senyumannya.
Kami? Pierre dan ...
"Oh, hai!"
Pras?
Tak tahu muncul dari mana, pria itu dalam sekejap berdiri di samping Pierre dengan pakaian yang sama, yang dia pakai ketika terakhir kali kulihat sebelum dia menghilang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tu Me Manques [Finished]
Historical FictionTidak ada seorang pun yang mau disuruh mengerti ketika dihadapkan oleh perkara kehilangan. Tidak seorang pun termasuk aku. "Kau tahu, Ni. Aku tidak masalah jika harus gugur untuk Negara tercinta kita ini. Tapi, setelah denganmu, jika bisa aku ingin...