Kedekatan hubunganku dengan Pierre semakin dekat setiap harinya. Pierre sering datang ke rumah entah mengajakku keluar atau sekedar singgah sebentar. Tidak jarang, Pierre hanya mengirim surat lewat Pras ketika dalam satu hari penuh ia tidak dapat menemuiku.
Dari Pras, aku mengetahui bahwa Pierre sendiri ternyata seorang Taruna yang cukup menonjol. Ia aktif menjadi anggota voli dan basket di Bukit Panorama, ATEKAD. Keterampilannya di bidang olahraga didukung oleh proposional tubuhnya yang cukup ideal.
Prestasi Pierre juga tidak main-main. Banyak yang Pras katakan padaku. Tapi, aku tak bisa mengingat semuanya.
Suatu sore, Pierre datang ke rumah. Dia menggunakan baju putih, celana hitam, dan sandal jepit swallow dengan bagian bawah karet berwarna hijau. Penampilan yang cukup santai.
Tetapi, kedatangannya kali itu tidak membuatku senang seperti biasa. Pierre datang hendak memberitahu bahwa ia ditugaskan ke Malaysia untuk operasi Dwi Komandan Rakyat (Dwikora) yang dia sendiri tidak tahu hingga bila. Operasi ini meletus ketika pemerintah Indonesia memutuskan seluruh hubungan dengan Kuala Lumpur secara sepihak. Akibatnya, permusuhan antara Indonesia dengan Malaysia tidak dapat dihindari lagi hingga Panglima Tertinggi Bangsa Indonesia mengeluarkan perintah Dwikora.
Permusuhan itu merambat menjadi sebuah pertikaian ketika Indonesia secara terang-terangan mengirimkan pasukan Tentara untuk menyerang Semenanjung Malaya. Sementara itu, Malaysia berusaha memperkuat wilayah kedaualatannya dengan sokongan dukungan Inggris dan Australia.
Persiapan pengiriman sukarelawan Indonesia yang terdiri dari Tentara Republik Indonesia untuk Operasi Dwikora semakin diperketat. Mereka ditugaskan untuk menggagalkan upaya pembentukan Federasi Malaysia. Di antara pasukan tersebut yang mendapatkan tugas khusus menyelundup masuk ke wilayah Malaysia tidak lain adalah kekasihku, Letda Pierre Tendean.
"Aku mungkin tidak bisa mengirim dan membalas surat dalam waktu dekat. Tapi, tenang saja. Aku pasti akan kembali," katanya waktu itu guna meyakinkanku.
Padahal aku sendiri juga tidak tahu, kapan ia bisa kembali.
Tapi, tidak ada yang bisa kuperbuat selain membiarkannya pergi.
Waktu kutanyakan mengapa tidak Pras saja yang pergi, ia lagi-lagi tertawa. Katanya, bisa jadi karena Pras tidak memiliki paras kebarat-baratan. Menjadi intelijen dan berperan sebagai Spionase¹ bukan pekerjaan yang sederhana. Pierre harus bisa mengecoh tanpa menarik perhatian siapa-siapa. Paras Pierre yang kebarat-baratan serta kefasihannya dalam berbahasa Inggris, Belanda, dan Prancis dapat meloloskan ia dalam tugas nanti. Mereka tidak akan mengira bahwa seorang pemuda berkulit putih layaknya Turis Eropa yang menginjakkan kakinya di tanah Malaysia itu adalah Intelijen dari Indonesia.
"Pierre, semoga kau senantiasa baik-baik saja." Aku mendoakannya tiap malam, berharap Allah menjaga Pierre dalam tugas-tugas berbahayanya di luar sana.
Setelah Pierre pergi dari Medan, Pras juga tidak menampakkan batang hidungnya. Kurasa, dia juga ditugaskan entah ke mana. Ibu Wati dititipkan lagi pada tetangga yang biasa menjaganya selagi Pras tidak ada. Serta, Ibu juga lebih sering berkunjung menemui Ibu Wati.
Ah, Pierre dan Pras tidak ada. Aku mulai kesepian.
***
"Mbak Ni, ke mana Mas Pi? Dia sudah tidak pernah diajak kemari?" Uday menyambutku yang baru saja tiba di gubuk baca dengan pertanyaan yang sama setiap kali aku datang.
Tidak hanya Uday, Basil dan yang lainnya khususnya Sina juga mulai mencari keberadaan Pierre.
Seandainya Pierre tahu bahwa bukan aku saja yang mulai merindukannya. Tapi, adik-adikku di gubuk baca juga.
Kehadiran Pierre di gubuk baca menjadi warna tersendiri untuk kami. Uday, Basil, dan anak laki-laki lainnya senang dengan kehadiran Pierre di tengah-tengah kami. Mungkin karena selama ini, tidak ada pengurus laki-laki di gubuk baca. Hanya ada aku dan Puji yang mengurus mereka sehingga dengan adanya Pierre, mereka mulai menemukan satu tempat yang semula kosong lalu akhirnya terisi oleh keberadaan Pierre.
Selama Pierre bersama kami, sudah ada sekitar tiga pertemuan Pierre di gubuk baca. Aku berharap Pierre segera kembali ke Medan agar dapat bertemu dengan kami semua, pengisi gubuk baca yang teramat merindukan kehadirannya.
"Mas Pierre sedang sibuk, Uday." Aku memberitahunya sekali lagi. "Mbak Puji sakit lagi, ya? Kalau begitu Mbak Ni yang hari ini mengajari kalian, ya."
"Mengapa sibuk terus?" tanya Basil menyahut.
"Mas Pierre tidak sedang di Medan," kataku akhirnya pada mereka semua.
Kulihat satu per satu wajah mereka. Tampaknya mereka terkejut dengan pernyataanku. Selama ini aku memang tidak memberitahu mereka tentang Pierre lebih jauh. Aku kira, setelah berkata bahwa Pierre sibuk sehingga tidak bisa datang dalam waktu dekat cukup untuk membuat mereka mengerti. Aku tidak pernah tahu bahwa Pierre begitu berarti untuk mereka sehingga informasi sederhanaku tentang Pierre tidak membuat mereka puas.
"Mas Pi pergi? Ke mana?" tanya Sina dengan suara bergetar, ia seperti hampir akan menangis.
Secara serempak, mereka semua mendekatiku.
"Jauh sekali," jawabku singkat.
"Sejauh apa?" Uday yang tidak puas dengan jawabanku bertanya lebih jelas.
"Mas Pierre pergi ke Malaysia," ungkapku akhirnya.
"Tapi, Mas Pierre 'kan orang Belanda, mengapa dia pergi ke Malaysia?" tanya Basil tidak mengerti. Hanya ia yang satu-satunya dapat memanggil nama Pierre dengan sempurna. Lebih sempurna daripada Ibuku sendiri.
Aku setengah terkejut mengetahui bahwa Basil menyadari, Pierre bukan seorang pribumi. Ia memang anak yang paling pandai di sini. Aku tidak membeda-bedakan. Tapi, itulah faktanya. Hanya saja Basil tidak tahu bahwa meski Ibunya Pierre berasal dari Belanda, nyatanya Pierre hanya berdarah Prancis saja. Sepertinya, Basil hanya mengerti dengan yang biasa ia lihat. Sekilas paras Pierre memang hampir sama dengan orang Belanda.
Tidak bisa menjawab pertanyaan Basil, aku hanya tersenyum kepadanya.
"Mas Pi perginya lama tidak?" tanya Nanik.
Aku diam. Sejujurnya, aku ingin berkata tidak. Selain untuk menjawab pertanyaan mereka, juga untuk menghibur diriku sendiri. Tapi, aku benar-benar ragu karena tidak tahu jawaban dari pertanyaan Nanik secara pasti.
Kutatap langit sore yang kali ini tampak mendung. Tidak ada matahari di atas sana, hanya ada awan hitam.
Pikiranku melambung jauh. Tiba-tiba aku teringat akan kata-kata Uday dulu waktu bersama Pierre tentang Bintang dan Matahari.
Pierre, aku rasa menjadi Matahari yang kesepian benar-benar tidak menyenangkan.
Seakan tidak henti-hentinya memikirkan Pierre, aku baru tersadar dari lamunanku ketika setetes air yang berasal dari langit turun mengenai punggung kakiku.
Oh, tidak. Sepertinya matahari mulai menangis.
Catatan kaki:
Spionase¹: Mata-mata.A/n:
Ditegaskan sekali lagi, cerita ini merupakan karya fanfiction. Terima kasih yang sudah menantikan cerita ini. Semoga kamu selalu diberikan Tuhan sebuah kebahagiaan. Aamiin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tu Me Manques [Finished]
Historical FictionTidak ada seorang pun yang mau disuruh mengerti ketika dihadapkan oleh perkara kehilangan. Tidak seorang pun termasuk aku. "Kau tahu, Ni. Aku tidak masalah jika harus gugur untuk Negara tercinta kita ini. Tapi, setelah denganmu, jika bisa aku ingin...