"Berikut nama-nama 7 korban penculikan pada malam berdarah 30 September antara lain; Mayjen M.T Haryono, Mayjen S. Parman, Mayjen Soeprapto, Brigjen Soetoyo, Brigjen Pandjaitan, Letjen Ahmad Yani, Ajudan Menko Hankam Lettu CPM Pierre Tendean ..."
Mendengar nama korban terakhir yang disebut melalui siaran Radio Republik Indonesia, tubuhku kaku di tempatku berdiri.
Kami sekeluarga memang tetap mengikuti perkembangan berita politik meski yang kami tahu Pierre dan Pak Nas memang tidak terlibat dalam tragedi berdarah itu. Yang kami yakini, Pak Nas yang merupakan sasaran utama dalam peristiwa 30 September itu berhasil lolos sehingga keadaan Pierre bisa dikatakan lebih aman.
Namun, pagi ini, tepat ketika empat hari setelah meletusnya peristiwa kelam yang akan menjadi borok sejarah Indonesia di generasi selanjutnya itu, aku merasa hilang akal ketika nama kekasihku disebut sebagai korban penculikan bersama enam korban lainnya.
Apakah ini mungkin? Tidak.
Bagaimana bisa Pierre menjadi korban dalam peristiwa berdarah itu jika Pak Nas saja yang merupakan sasaran utama mereka lolos?
Bagaimana bisa mereka membawa Pierre yang bukan apa-apa bagi mereka untuk diangkut bersama jenderal-jenderal tinggi itu?
Tidak mungkin!
Di saat itu, Ibu langsung menghampiriku. Berbeda denganku yang masih mematung syok, Ibu sudah menangis kencang sembari memeluk erat tubuhku. Tangisan Ibu membuat segalanya menjadi begitu menyakitkan.
Mengapa Ibu menangis? Pierre yang disebut dalam radio belum tentu Pierre kekasihku.
Iya, aku masih berusaha yakin dan enggan percaya begitu saja meski rasanya terlalu sakit saat harus membohongi diri sendiri.
Bahkan untuk membuka suara sepatah kata pun, aku rasanya tak sanggup. Air mataku berjatuhan deras tanpa isakan sama sekali. Leherku seakan tercekik, sakit luar biasa hingga merambat ke dada.
"Assalamualaikum!"
Rombongan Puji dan suami beserta tetangga kami datang dan dalam sekejap, halaman rumah kami telah dipenuhi oleh orang-orang yang menginginkan jawaban kebenaran perihal nasib Pierre di Jakarta.
Ibu dan Puji menarikku masuk ke dalam kamar sementara Ayah dan Mas Ghani berusaha menahan dan memberikan pengertian kepada orang-orang agar tidak sampai menimbulkan keributan.
"Pierre ..." desisku dengan suara terputus-putus.
Memanggil namanya saat ini terasa tidak mudah kulakukan. Pertahananku pecah tatkala gambaran wajah pria itu muncul dalam benakku, memenuhi isi kepala tanpa jeda. Aku menangis tersedu-sedu dalam bayangan mengerikan tentang bagaimana jika aku benar-benar kehilangan Pierre sama seperti ketika aku harus melepas Pras pergi.
"Ni, tenanglah dahulu." Mas Ghani yang tiba-tiba saja masuk ke kamar berusaha menenangkanku. "Kau dengar waktu mereka menyebut nama kekasihmu? Lettu CPM Pierre Tendean. Itu bisa saja bukan Pierre kekasihmu. Pierre itu dari Zeni, bukan CPM."
Meski Mas Ghani berusaha mati-matian mencoba meyakinkanku dengan fakta itu, anehnya aku tetap tidak bisa percaya begitu saja. Perasaanku semakin terasa sesak. Aku merasakan hal yang sama persis ketika dihadapkan dengan bendera kuning di rumah Pras.
Perasaan itu ... datang lagi.
Aku merasa dunia tampak berbeda dari biasanya. Aku merasakan hal itu karena hati kecilku mengatakan, Pierre benar-benar telah pergi dari dunia ini. Bumi tidak lagi memberi tempat untuk Pierre berdiri.
Tak ada Pierre di bumi yang tengah kupijaki. Kekasihku pergi dengan cara yang sama seperti Tuhan merenggut Pras dariku.
Perlahan tapi pasti, suara-suara bising yang bersahutan di sekitarku memelan kemudian menghilang. Tubuhku melayang-layang seperti kapas yang dimainkan angin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tu Me Manques [Finished]
Historical FictionTidak ada seorang pun yang mau disuruh mengerti ketika dihadapkan oleh perkara kehilangan. Tidak seorang pun termasuk aku. "Kau tahu, Ni. Aku tidak masalah jika harus gugur untuk Negara tercinta kita ini. Tapi, setelah denganmu, jika bisa aku ingin...