Hari ini tepat ketika dua bulan sejak kepergian Pras, usiaku genap tujuh belas tahun. Semua orang sibuk mempersiapkan acara ulang tahunku. Mulai dari Ibu, Puji, sampai adik-adikku di gubuk baca. Mereka semua tampak bahagia bermain di halaman rumahku yang bisa dikatakan cukup luas.
Sebetulnya, aku tidak ingin merayakan ulang tahunku setelah dua bulan Pras pergi. Aku tidak mau teringat akan Pras yang tahun-tahun kemarin memberikanku bando bunga-bunga sebagai hadiah ulang tahun. Tetapi, ini semua ide Puji dan adik-adik gubuk baca. Ibu juga mendukung karena dia bilang, di usiaku yang ke tujuh belas tahun, aku harus mulai membuka lembar baru dan melupakan peristiwa-peristiwa buruk di penghujung usia enam belas tahun kemarin.
Kemudian, Pierre juga ingin aku merayakannya. Ia setuju dengan Ibu. Katanya, aku perlu memikirkan hal-hal baru yang lebih menyenangkan.
Di depan cermin yang memantulkan bayangan seorang gadis cantik, aku tersenyum ketika gaun merah tanpa lengan yang dulu Pierre berikan untuk oleh-oleh sepulangnya dari Malaysia kini melekat di tubuhku dengan sempurna. Sesuai keinginan Pierre, aku memakai gaun ini di hari ulang tahunku. Pierre bilang, ia akan datang hari ini. Tapi, aku tidak tahu bila pastinya.
"Rambutmu diikat saja jadi satu, Ni." Ibu memperhatikan pantulan cermin di depan kami, mengusap bahuku beberapa kali. "Agar semakin cantik putri Ibu ini."
Tanganku terulur, menyentuh usapan Ibu dibahuku. "Seperti ini saja sudah cantik."
"Mana ada!" Puji tiba-tiba muncul dengan sisir di tangannya. Wanita bergaun jingga itu tampak antusias mendekatiku, mengambil posisi tepat di belakang kursi tempat di mana aku sedang duduk menghadap cermin rias. "Serahkan saja padaku, Bu. Akan kujadikan Rukmini seperti putri dari kerajaan langit."
Mulutku menggembung, berusaha menahan tawa ketika Puji menyebut tokoh utama dari buku dongeng milik Sina di gubuk baca.
"Ji, sejak mengandung kau semakin aneh-aneh saja," komentarku.
"Ish, mana ada hubungannya!" dumel Puji galak.
Ah, iya. Aku lupa memberitahu. Setelah mengetahui dirinya sedang mengandung, ia sering menjaga pola makannya. Katanya, ia takut menjadi terlihat gemuk di mata Mas Ghani. Lalu, emosi Puji juga berubah tidak stabil. Terkadang ia sangat riang gembira, kadang juga mudah marah seperti sekarang.
Kata Ibu, itu wajar bagi wanita yang sedang mengandung. Apalagi anak pertama.
"Sudahlah, Ibu mau siapkan makanan kecil. Anak-anak di luar tampak tak sabar melihat kue ulang tahun. Sebaiknya kuberikan untuk mereka permen dan cokelat dulu," kata Ibu entah berbicara kepada siapa.
Melihat Ibu sudah tidak kelihatan lagi, aku mulai berbicara hal lain kepada Puji.
Tentang Pierre.
"Ji," panggilku kepada Puji yang sibuk menyisir rambut ikalku.
Puji berdehem sebagai respon.
"Pierre sudah datang?" Kali ini aku memandang wajahnya secara langsung.
"Ck, Ni." Puji berdecak kesal. "Aku sedang menyisirmu, kau malah menggerakkan kepala."
"Oh, maaf." Buru-buru, aku duduk dengan tegap.
"Pierre belum kelihatan, tahu. Tidak tahu kalau sekarang." Tanpa menanggapi ucapan maafku, Puji justru menjawab pertanyaan yang kuberikan sebelumnya.
Aku mengangguk-angguk. Kalau pun dia tidak datang, tidak apa-apa. Aku tidak mau membebani Pierre.
"Ni!" dengus Puji geram.
"Apa?" tanyaku lugu.
"Sudah kubilang jangan gerakan kepala ketika aku sedang menyisir. Malah mengangguk-angguk!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Tu Me Manques [Finished]
Historical FictionTidak ada seorang pun yang mau disuruh mengerti ketika dihadapkan oleh perkara kehilangan. Tidak seorang pun termasuk aku. "Kau tahu, Ni. Aku tidak masalah jika harus gugur untuk Negara tercinta kita ini. Tapi, setelah denganmu, jika bisa aku ingin...