Selembar Surat

219 25 2
                                    

________________________________
Untuk, Rukmini Tjhamim
Djl. Gadjah Mada Utara No. 10

Ni, lusa saja akan datang ke rumah, tidak
bersama Pras. Lutju kalau menemuimu
ditemani dia. Datang -/+ pukul 9 siang.
Kau tahu tempat menjenangkan di
Medan? Mari kita pergi.

Dari, Pierre.
________________________________

Aku melipat kembali surat yang Pierre tulis dengan perasaan gembira. Dengan hati-hati, aku memasukkan lembaran itu ke amplopnya seperti semula. Sungguh, aku tidak mau membuat surat pertama dari Pierre rusak.

Besok lusa Pierre akan datang ke rumah dan aku tidak sabar menantinya.

"Ni, kau sedang apa?"

Tiba-tiba, Ibu muncul dari selambu kamarku. Tubuhku menegang di kursi yang sedang kududuki. Tanganku berusaha menyembunyikan amplop berisi surat dari Pierre yang sebelumnya kuletakkan di atas meja.

Tapi, sepertinya itu sia-sia. Ibu tahu tentang surat itu.

"Bagus sekali, tidak cerita pada Ibu tentang surat dari Pir," cetus Ibu ketika sudah berdiri di samping kursi tempatku duduk. "Bacakan untuk Ibu."

"Ibu," rengekku padanya.

Sungguh, aku malu. Ini pertama kalinya aku mendapat surat dari pria yang kucintai.

"Apa? Mau mencoba menyembunyikan sesuatu dari Ibu lagi?" tanya Ibu dengan nada meledek.

Aku menggelengkan kepala. "Tidak, Bu. Tapi, Ibu tahu dari mana?"

Sesaat setelah mengakhiri pertanyaanku pada Ibu, aku mulai memikirkan sebuah nama. Iya, siapa lagi kalau bukan dia?

"Pras yang memberitahu Ibu, dia 'kan sudah bekerjasama dengan Ibu sejak memperkenalkanmu dengan Pir. Kau lupa?" Ibu menjawab.

Tepat sekali. Sudah kuduga dari Pras.

"Ah, sampai kapan dia terus mengadukan banyak hal tentang Ni kepada Ibu?" desisku sedikit kesal.

Ibu tersenyum geli mendengarnya. "Bukankah itu sudah menjadi sikap Pras sejak dulu? Kalau kau ada apa-apa, Pras pasti langsung memberitahu kepada Ibu dan Ayah. Itu bentuk kepeduliannya kepadamu, Ni."

Aku tahu itu. Tapi, sekarang ini 'kan kami bukan anak kecil lagi. Pras berusia dua puluh enam tahun dan aku tujuh belas tahun. Usia kami sudah sama-sama cukup dewasa.

"Tetap saja itu membuat Ni tidak nyaman," kataku sejujurnya.

"Ah, kau berusaha mengalihkan perhatian Ibu saja." Tiba-tiba, Ibu tertawa sambil mencolek-colek bahuku. "Ayo, beritahu apa yang Pir tulis untukmu," lanjutnya penasaran.

Secara naluri, sudut bibirku tertarik ke atas. Membentuk sebuah lengkungan. Mendengar nama Pierre disebut saja sudah membuat telinga dan pipiku memanas.

Ya, meski Ibu tidak pernah memanggil nama Pierre dengan benar. Tetap saja.

"Tidak ada, Bu. Pierre hanya mengatakan akan datang besok lusa," jawabku setelah cukup lama memberi jeda. Aku butuh waktu setidaknya tiga puluh detik untuk menetralkan jantungku yang berdegup lebih cepat tiap kali menyebut nama Pierre.

Karena aku benar-benar tidak mau membuat Ibu menyadari perbedaanku ketika menyebut nama itu. Sebisa mungkin, aku berusaha untuk bersikap biasa saja kalau tidak mau mendengar lebih banyak ledekan dari Ibu.

"Oh, ya?" Ibu menunjukkan wajah setengah terkejut.

Aku mengangguk. Sedikit tidak mengerti mengapa Ibu bisa seterkejut itu. "Mengapa Ibu terkejut seperti itu?"

Tu Me Manques [Finished]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang