"Kalau untuk main-main saja, biarkanlah. Toh, Pir itu pria yang baik. Aku juga sudah menyayanginya layaknya Pras."
"Aku tahu, Pierre pria baik. Tapi, bagaimana kalau hubungan mereka tidak sekedar main-main?"
"Putri kita baru berusia tujuh belas tahun. Biarkan dia menikmati awal masa remajanya."
"Justru itu."
"Justru itu bagaimana?"
"Kalau tidak dihentikan sekarang, Rukmini akan merasa lebih sakit nantinya."
Percakapan-percakapan yang kudengar dari balik dinding kamar Ayah dan Ibu kembali menghantui diriku pagi ini. Pasalnya, hal itu sangat mengganggu pikiranku.
Setelah Pierre pamit pulang, Ayah tidak banyak bicara dan langsung masuk ke dalam rumah untuk menemui Ibu. Aku tahu, Ayah akan menceritakan semuanya tentang Pierre kepada Ibu. Tetapi, setidaknya aku bisa merasa sedikit tenang karena aku memiliki keyakinan bahwa Ibu tidak setegas Ayah yang sudah pasti tidak akan memberi restu kepada kami.
Lagipula, Ayah baru sehari bertemu Pierre. Begitu juga aku. Pierre masih memiliki banyak kesempatan untuk membuat hati Ayah luluh, meski itu terdengar begitu mustahil.
Aku juga tidak mengerti.
Seperti yang sudah kukatakan, aku baru bertemu Pierre hari ini. Waktu yang terlalu singkat untuk masa pengenalan sebagai sepasang insan yang saling jatuh cinta. Tetapi, rasanya aku sudah sangat yakin kepadanya.
Aku bukan gadis yang mudah jatuh cinta. Bahkan, dua orang pria yang merupakan kawan baikku juga pernah mengutarakan perasaan mereka kepadaku. Sayangnya, aku terpaksa menolak perasaan mereka. Sebenarnya, aku tidak ingin menyakiti hati mereka dengan menolak cinta keduanya. Tapi, aku sadar bahwa aku tidak bisa semakin menyakiti perasaan salah satu di antara mereka kalau cinta yang telah diberikan secara tulus harus kubalas dengan cinta palsu.
Lagi, aku tidak bisa membohongi diriku sendiri.
Hanya Pierre yang mampu membuat mataku sulit mengalihkan atensiku terhadapnya. Juga hanya Pierre yang bisa mengisi kehampaan dalam hatiku sejak lama.
"Ni, sudah kau bersihkan daging ayam yang hendak kita masak?" tegur Ibu yang mendapatiku tengah melamunkan sesuatu.
Aku berkedip cepat dua kali, tersadar dari segala lamunan yang memenuhi isi kepalaku.
"Oh, ya. Akan Ni bersihkan," kataku seraya meraih wadah plastik berukuran sedang untuk tempat daging ayam nanti.
Lagi-lagi, aku melamun tidak tahu tempat.
Bagaimana bisa aku memikirkan Pierre saat sedang membantu Ibu di dapur?
"Tidak usah." Ibu mengambil alih wadah plastik yang ada di tanganku. "Kau buatkan kopi saja untuk Ayahmu. Airnya sudah Ibu rebus."
"Ayah jadi berangkat hari ini?" tanyaku basa-basi. Aku sudah tahu bahwa Ayah akan pergi ke kota seberang untuk berdagang pagi ini.
Ibu menggeleng-gelengkan kepala seraya tertawa geli. "Mengapa masih bertanya? Lusa kemarin kau sangat antusias mengingatkan Ayahmu pergi untuk dibelikan gaun baru."
Tubuhku membeku di tempatnya. Aku menahan napas sebentar sebelum akhirnya tersenyum kaku. Malu setengah mati.
"Kurasa, aku lupa." Aku beralasan, entah Ibu akan percaya atau tidak. Tapi, sepertinya tidak.
"Pir pasti yang membuatmu melupakan banyak hal," goda Ibu seraya mencolek daguku.
"Namanya Pierre, Bu. Pi-yer," sergahku membenarkan. "Bukan Pir."
KAMU SEDANG MEMBACA
Tu Me Manques [Finished]
Historical FictionTidak ada seorang pun yang mau disuruh mengerti ketika dihadapkan oleh perkara kehilangan. Tidak seorang pun termasuk aku. "Kau tahu, Ni. Aku tidak masalah jika harus gugur untuk Negara tercinta kita ini. Tapi, setelah denganmu, jika bisa aku ingin...