"Hei, Ni. Sudah tamat SMA ya, kau rupanya? Selamat, ya."
Hari ini, Puji datang ke rumah. Ia berminggu-minggu sakit malaria. Untungnya Allah masih memberikan Puji kesembuhan. Kudengar banyak yang nyawanya tidak selamat karena penyakit ini. Kata Puji, awalnya ia kira sakit biasa. Ternyata setelah dibawa ke rumah sakit, ia terkena malaria. Beruntung Puji segera mendapatkan pertolongan.
"Begitulah, terima kasih, Ji. Suamimu tidak ikut datang?" tanyaku.
Puji memang sudah menikah lebih dahulu, usianya delapan belas tahun. Lebih tua beberapa bulan saja sebenarnya dariku.
"Mas Ghani sore ini ada mengajar di masjid. Aku sebenarnya disuruh menemani. Tapi, kau paling tahu bahwa aku tidak suka." Puji menunjukkan ekspresi cemberut.
Sudut bibirku tertarik sebagai respon atas ceritanya. Aku sudah tahu benar bagaimana Puji. Wanita itu sebelas-duabelas dengan Pras. Hanya saja, Pras sebenarnya senang mengaji. Tetapi, tidak memiliki waktu. Berbeda dengan Puji yang tidak menyukai hal-hal berbau keagamaan. Padahal Ayah dan Ibuku yang seperti orangtua bagi Puji tidak henti-hentinya menasihati Puji.
Dasarnya Puji memang bandel.
"Sampai kapan kau terus berbohong mengatakan sedang haid tiap kali diajak suamimu mengaji di masjid," cetus Ibu yang tiba-tiba saja ikut menyahut.
Ibuku keluar dari balik selambu membawakan air sirup manis.
"Bagaimana lagi, Bu. Mas Ghani galak kalau aku salah membaca tajwid Al-Qur'an." Puji merajuk, mengadu pada Ibu untuk mencari pembelaan.
"Alah, paling ya cuma dibilangi," kata Ibu seraya meletakkan nampan sirup. "Minumlah, hari ini Medan panas betul."
"Tidak, Bu. Sampai mengacungkan galah¹ segala!" bantah Puji bergidik.
"Bohong, Mas Ghani hanya menakut-nakutimu saja itu, Ji." Aku menyela karena tidak setuju dengan ucapan Puji.
Jujur, aku pernah melihat Mas Ghani menegur Puji karena meninggalkan dapur dengan kompor masih menyala. Waktu Mas Ghani menasihati, Puji balas mengoceh. Alhasil, Mas Ghani menakut-nakuti Puji dengan sabuk kulit miliknya. Waktu kubilang sabuk kulitnya untuk apa, Mas Ghani pernah bilang ia hanya ingin Puji patuh. Tetapi, Mas Ghani mengaku tidak pernah menyakiti Puji secara fisik. Ia paham agama. Jadi, mana mungkin Mas Ghani sungguh melakukan itu. Seperti yang kutahu, Puji memang cenderung bandel dan keras kepala.
"Ya memang menakut-nakuti. Tapi, aku sampai takut sungguhan," dengus Puji.
"Ji, Istri itu pakaian untuk suaminya. Kau harus menutupi seluruh aibnya, bukan malah membukanya dan membiarkan Ghani telanjang." Ibu menggeleng-gelengkan kepala.
Seperti seorang Ibu pada umumnya, Ibuku sering sekali memberikan nasihat kepada Puji. Tapi, mungkin bagi Puji, nasihat Ibu lebih terdengar seperti petuah-petuah lama yang masuk melalui telinga kiri, keluar dari telinga kanan.
"Iya, iya." Puji meraih segelas sirup yang berada paling dekat dengannya dan meminumnya sedikit. "Bu, ini sepertinya terlalu banyak gula."
"Benarkah?" Ibu memandang Puji serius. Tidak lama ia tertawa lebar. "Itu tertukar dengan milik Ayahnya si Ni. Sebentar, sebentar."
"Pak Chamim gemar sekali minuman manis. Tidak takut terkena penyakit gula?" Puji bertanya sekedar mengingatkan.
"Ya, begitulah, Ji. Ayahnya si Ni memang sama sepertimu, sama-sama keras kepala." Ibu mengambil minuman milik Puji dan membawanya masuk ke dalam rumah.
Sayup-sayup terdengar suara Ayah dan Ibu yang saling bercakap-cakap, disusul suara tawa Ibu sesekali.
"Ni, bicara-bicara, sudah lama sekali kekasihmu tak nampak batang hidungnya? Sungguh tak ada kabar dia?" tanya Puji tiba-tiba.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tu Me Manques [Finished]
Historical FictionTidak ada seorang pun yang mau disuruh mengerti ketika dihadapkan oleh perkara kehilangan. Tidak seorang pun termasuk aku. "Kau tahu, Ni. Aku tidak masalah jika harus gugur untuk Negara tercinta kita ini. Tapi, setelah denganmu, jika bisa aku ingin...