Pinangan

168 22 2
                                    

"Saya ingin meminang Rukmini."

Kau tahu apa yang ada di kepalaku?

Tidak ada.

Otakku seperti mati ketika mendengar ucapan Pierre. Tubuhku mematung kaku. Oksigen di sekitarku seolah menipis nyaris habis. Aku merasakan sesak yang tidak pernah kurasakan sebelumnya, sesak yang didominasi oleh perasaan bahagia tidak terkira.

Semua pasang mata mengarah padaku, seperti ingin menyaksikan betapa bodohnya ekspresiku sekarang. Termasuk Pierre. Pria itu juga menatapku dengan tatapan sayunya, melempar senyum yang tidak ada canggung-canggungnya sama sekali.

Ah, Tuhan.

Sesungguhnya Engkau yang Maha Mengetahui bagaimana perasaanku sekarang ketika tidak bisa kujelaskan dengan kata-kata.

Perasaan bahagia bercampur terkejut ini bahkan masih menguasaiku setelah Pierre melanjutkan kata-katanya.

"Saya ingin Rukmini menjadi Istri saya," lanjut Pierre sungguh-sungguh.

Sekali lagi, aku tak kuasa mendengar ucapan Pierre kepada Ayahku. Tanpa terasa, sudut mataku perlahan basah. Aku menitikkan air mata, menangis bahagia.

Ibu yang duduk di sebelah turut tersenyum sukacita. Tangannya mengusap-usap bahuku seperti ingin mengucapkan 'selamat' atas pinangan dari Pierre.

Pierre, kau tahu?

Aku tidak pernah membayangkan bahwa tumbuhku menjadi seorang gadis remaja ternyata untuk menjadi pendampingmu kelak, menjadi istri dari seseorang sepertimu, menjadi gadis yang berhasil membuatmu jatuh cinta.

Memikirkan hal itu, tubuhku bergetar pelan. Aku menutup mulutku menggunakan punggung tangan. Ibu semakin nyata mengusap bahuku. Kali ini, Ibu ingin aku menjadi lebih tenang.

"Pierre sudah bercerita banyak hal tentang rencananya ke depan bersama Rukmini kepada kami. Bahkan, ia sudah mencari-cari rumah untuk tempat tinggalnya setelah menikah nanti," ujar Pak Nas memberitahu.

Air mataku merembes lebih deras. Aku tidak pernah tahu bahwa Pierre ternyata sudah merencanakan soal pernikahan sejauh itu.

Aku ingin dan bersedia menjadi istrimu, Pierre. Sungguh.

"Tapi, kau bukan seorang muslim, Pierre."

Jantungku seolah berhenti mendengar jawaban dari Ayah.

Tuhan, mengapa aku baru menyadarinya?

Aku terlampau bahagia dengan pinangan Pierre hingga lupa bahwa nyatanya, ada pembatas besar yang berdiri tegak antara aku dan Pierre.

Keyakinan kami berbeda.

Pierre lahir di keluarga penganut kristen protestan yang taat. Ia bukan seorang muslim di mana itu artinya, Pierre tidak bisa menikahiku. Di dalam Islam, tidak boleh menikah atau menikahi seseorang yang beragama selain Islam. Lalu, aku pernah mendengar bahwa dalam kemiliteran, tidak diperkenankan menikah dengan latar belakang agama yang berbeda. Itu artinya, antara aku dan Pierre harus ada yang mengalah dengan melepaskan agama sebelumnya.

Tetapi, aku yakin betul. Jika tidak Pierre yang keluar dari agamanya, maka pernikahan kami tidak akan pernah terjadi. Sebab Ayah cukup keras mendidik anaknya agar sesuai dengan syariat Islam sehingga mustahil untuk menerima Pierre yang berbeda keyakinan dengan keluarga kami.

Ibu menutup mulut, terkejut. Aku yakin ia juga baru menyadari hal ini.

"Bu," lirihku pelan, hampir menyerupai bisikan.

Tapi, Ibu juga tidak kuasa mengucapkan sepatah kata pun.

"Saya tahu itu," jawab Pierre seraya menganggukkan kepalanya. Kemudian, ia menarik napas panjang. Dalam satu tarikan napas itulah Pierre membuat pernyataan yang sangat mengejutkan. "Untuk bisa menikahi Rukmini, saya rela keluar dari agama yang telah saya anut sebelumnya. Saya ingin menjadi seorang muslim."

Tu Me Manques [Finished]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang