Tentang Masa Lampau

232 26 0
                                    

[Play now; hampa - Ari Lasso]

.
.

Klaten, Jawa Tengah.

Lima puluh empat tahun berlalu.

Aku menutup buku yang habis kubaca, meletakkannya di pangkuanku, lalu mulai merebahkan punggung ke senderan kursi. Tak kuhiraukan kacamata bacaku yang mulai melorot entah untuk yang ke berapa kali.

Mataku terpejam, menghela napas panjang berharap tiap helaannya mampu mengusir sesak yang lagi-lagi memenuhi rongga dada. Tapi, sayangnya itu tak pernah berhasil.

Sesak itu masih sama, meski sudah berjalan puluhan tahun lamanya.

"Uti¹ lagi baca apa?"

Begitu aku membuka mata, tahu-tahu gadis remaja dengan senyuman menawan sudah duduk di dekat kakiku. Matanya bulat, memancarkan cahaya yang dipantulkan dari bohlam lampu ruang tamu.

Oh, itu cucuku. Satu-satunya keluarga yang kini tersisa.

Ya, aku telah menikah.

Butuh lima tahun sejak kepergian Pierre aku akhirnya bisa mulai membuka hati untuk laki-laki lain. Dua tahun setelahnya, aku menikah dengan laki-laki yang berprofesi sebagai karyawan bank itu.

Kami hidup bahagia. Tetapi, sayangnya ia tidak bisa menemaniku di hari tua. Meski aku begitu mencintainya, tetapi Allah rupanya lebih merindukan suamiku. Belum sembuh benar luka untuk merelakan kepergian suamiku, putriku satu-satunya turut menyusul ayahandanya.

Sekali lagi, aku merasa hidupku kembali diuji.

Tidak mudah bagiku mencoba ikhlas dan menerima setelah banyak orang yang kucintai perlahan meninggalkanku satu persatu. Aku tak kuasa menahan sedih tiap kali mengingat wajah mereka. Namun, sebagaimana yang diajarkan dalam agamaku, kita tidak boleh berlarut-larut dalam duka dan memberatkan kepergian seseorang.

Lalu, aku tidak memiliki pilihan selain menerima dan mencoba ikhlas.

Perkara kehilangan.

Aku mulai mengerti, tidak ada seorang pun yang akan sanggup kehilangan orang yang dicintainya. Tetapi, soal datang dan pergi memang sudah biasa dalam perjalanan hidup.

Misalnya aku.

"Baca ini," tunjukku sembari menutup buku, memperlihatkan sampul depan buku di pangkuanku.

Jujur saja, aku bahkan masih tak sanggup mengeja judul buku yang rasanya kembali menghidupkan kisahku bersama Pierre lampau.

"Tu Me Manques." Cucuku, Ananda, memangut-mangut setelah mengeja judul yang tertempel besar-besar dengan huruf kapital itu. "Oh, buku ini lagi. Kenapa masih dibaca aja, sih? Uti 'kan udah tahu semuanya."

Gadis ini rupanya masih belum mengerti.

"Tidak apa-apa, Ananda. Uti hanya ingin baca saja," jawabku seadanya.

"Tu Me ... Manques, artinya aku merindukanmu." Seperti hapal dengan jawaban yang pernah kukatakan padanya saat ia bertanya arti judul buku ini, Ananda mengatakannya sekali lagi.

Dan sekali lagi itu pula aku disentil perasaan emosional.

Tu Me Manques.

Ah, aku mengingatnya tanpa sengaja. Lagi.

Sangat melekat di kepala ketika kali pertama ia mengatakan hal yang serupa itu berpuluh-puluh tahun silam. Bahkan aku mengingat hal-hal detail seperti lekukan di pipinya ketika ia tersenyum kala itu atau bagaimana caranya menatapku dengan tatapan sayu dan teduh. Samar-samar, aku juga mulai mencium aroma tubuhnya yang khas.

Tu Me Manques [Finished]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang