Cerita di Danau Toba

172 27 4
                                    

"Aduh, tadinya Ibu dan Ayahnya si Rukmini akan ikut ke Toba, Pir. Tapi, Ibunya Pras memaksa ditemani seharian ini. Aneh waktu dia terus menanyakan, aku bakal pergi jauh ke mana," ceracau Ibu yang entah sudah berapa kali mengatakan hal serupa kepada Pierre.

"Tidak apa, Bu. Titipkan salam untuk Ayah dari saya. Lain kali kita bisa pergi," jawab Pierre yang kemudian beralih menatapku. "Betul tidak, Ni?"

Ah, mata Pierre tampak lebih menyipit. Lesung di pipinya tercetak semakin jelas. Di detik yang sama, aku terpaku.

Dia tersenyum!

Dan satu hal lain yang membuatku salah tingkah adalah ketika Pierre bertanya seolah sedang meminta pendapatku mengenai ajakannya untuk pergi lain waktu bersama Ibu.

Atau ... Pierre semata-mata ingin mengajakku pergi lagi di lain waktu?

Aku juga tidak tahu. Tapi, memikirkannya sudah membuat pipiku memanas.

"Ni?" Suara rendah Pierre menyadarkan lamunanku.

Aku melenguh. "Ah, ya?"

"Kau tidak apa? Kurang enak badan?" Kali ini, Pierre sepenuhnya mendekatiku. Tubuh tinggi tegapnya hampir menelanku habis-habis. Aku bukan apa-apa jika di dekatnya.

Ibu yang mendengar itu bergegas menghampiriku dan menanyakan hal serupa seperti Pierre. Dan aku menggeleng untuk menjawab sekaligus pertanyaan mereka.

Aku baik-baik saja, sangat.

"Aku tidak apa-apa. Hanya saja ..." Suaraku mendadak hilang di akhir kata.

Ah, aku tidak tahu harus mengatakan apa. Diam-diam, aku menyesal karena begitu mengatakan bahwa aku baik-baik saja, aku tidak langsung menyudahinya. Padahal aku belum menyusun kata-kata yang tepat untuk dikatakan.

Tetapi, bagaimana cara memberitahu mereka bahwa aku hanya sedikit gugup pergi berdua bersama Pierre?

Kulihat alis mata Pierre naik sebelah, ia bertanya-tanya. "Hanya saja?"

"Tidak, tidak." Meski aku akan menyesali tingkah bodohku, aku lebih memilih untuk menggeleng dan menyudahi suasana tidak nyaman ini daripada akan menjadi lebih panjang. "Tidak apa."

"Ish, Ni, kau membuat kami khawatir saja." Ibu menggeleng-gelengkan kepalanya tanda tidak habis pikir. "Katakan saja kalau kau merasa tidak sabar akan pergi dengan Nak Pir," tuding Ibu telak.

Di detik ini, aku mulai mengerti terhadap satu hal. Mungkin ini yang dimaksud dengan istilah seorang Ibu memiliki insting kuat terhadap anaknya.

Pierre tertawa ringan mendengarnya.

"Tidak, Bu. Sungguh," bantahku meski sebetulnya aku sendiri pun tidak yakin.

"Ya sudah, kalian berangkatlah agar tidak pulang terlalu petang." Ibu meraih sebuah wadah plastik yang telah dibalut dengan serbet kotak-kotak sebagai penutupnya dari atas meja teras lalu diberikan padaku. "Ini manisan, jangan sampai tertinggal."

"Maafkan karena saya selalu merepotkan Ibu," kata Pierre kembali merendah.

"Pir, aku sama sekali tidak merasa direpotkan. Lagipula, ini semua Ni yang siapkan semalam." Ibu melirikku yang hanya bisa menunduk tersipu.

Meski aku tengah menunduk, aku bisa menyadari bahwa Pierre kembali memperhatikanku.

"Terima kasih, Ni," katanya padaku.

Aku tidak bisa berkata-kata, hanya mengangguk dan berusaha memalingkan wajahku dari Pierre. Aku sangat-sangat malu.

***

Tu Me Manques [Finished]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang