Hujan yang Mengguyur Kemarau

128 25 1
                                    

Selama tujuh hari setelah mengetahui kabar duka tentang Pras, Ayah sibuk mengurus untuk acara tahlilan Pras. Dibantu tetangga-tetangga di sana, tahlilan tiga sampai tujuh hari pasca kabar perginya Pras selesai dilaksanakan dengan penuh haru.

Jujur, aku yang mendampingi Ibu Wati setelah kabar gugurnya Pras tidak kuasa menahan tangis tiap kali Bu Wati lupa-ingat mengenai Pras. Terkadang ia menangis sendiri sembari memanggil nama putranya yang bandel itu. Tapi, dalam sedetik Ibu Wati juga kadang berubah menjadi baik-baik saja seolah tragedi yang menimpa Pras tidak pernah terjadi.

Puji jatuh sakit lagi setelah mengetahui Pras telah tiada. Kata orang dahulu, ia terkena sawan. Suami Puji tampak kesusahan mengurus Puji yang ternyata sejak seminggu lalu sudah berbadan dua. Puji tidak sadar bahwa ia telah mengandung. Suaminya yang tahu ketika membawa Puji ke pusat layanan kesehatan.

Gubuk baca terbengkalai karena ketika Puji tidak bisa kembali mengajar, aku disibukkan mendampingi Ibu Wati sekaligus membantu Ibu mengurus persiapan makanan untuk Tahlilan Pras.

Hidupku seperti taman yang gersang sekarang. Kemarau telah melanda taman cantikku. Bunga-bunga telah layu, sebagian besar telah mati. Lalu, hujan rupanya sedang tidak merindukanku. Satu persatu masalah seakan tidak hentinya datang padaku. Tapi, yang paling membuatku terluka adalah kepergian Pras.

Aku tidak tahu sampai kapan semua ini berakhir.

Hal yang pasti kutahu, aku butuh Pierre.

Sungguh.

"Ni, kau pulanglah. Biar Ibu yang menjaga Ibu Wati di sini. Seminggu ini, kulihat Kau tidak banyak makan, kantung matamu membesar dan menghitam. Kau tampak lebih kurus, Ni." Ibu menyentuh pipiku. Ibu jarinya bergerak mengusap lengkungan hitam yang berada di bawah masing-masing mataku.

Aku menggelengkan kepala pelan. "Tidak."

"Pulanglah, Ayahmu di rumah sendirian. Tampaknya ia juga kelelahan. Istirahatlah seperti Ayahmu barang sebentar." Ibu kembali membujukku untuk pulang dan pergi istirahat.

Pada akhirnya, aku menuruti kemauan Ibu. Aku berdiri, bangkit dari rumah yang biasanya ramai oleh celotehan-celotehan Pras.

Baru ketika kakiku menyentuh lantai teras rumah Ibu Wati, aku merasa sesak kembali. Bayangan-bayangan Pras kembali melintas sekelebat. Ah, aku tahu, sebagai umat muslim tidak sepantasnya aku memberatkan kepergian seseorang seperti ini. Tapi, aku rasa ini terlalu berat untuk diterima.

"Ni, mau pulang?" Bu Juni, tetangga yang terakhir kali terlihat melakukan interaksi dengan Pras sekaligus orang yang sering dimintai Pras untuk menjaga Ibu Wati menyapaku.

Aku mengangguk dan tersenyum kecil sebagai bentuk betapa aku menghormati Bu Juni.

"Assalamualaikum, Bu."

"Hati-hati, ya."

Setelah itu, aku memakai alas kaki yang kutinggalkan di depan teras rumah. Pagi ini, Medan benar-benar dalam nuansa berkabung. Biasanya langit sudah menyuguhkan teriknya. Tapi, seminggu ini langit di Medan dikuasai gumpalan awan.

Ke mana perginya kira-kira matahari? Apakah dia pergi karena terlalu kesepian?

Isi kepalaku bercabang ke mana-mana. Aku sibuk dengan pikiran-pikiranku yang kerap melambung terlalu jauh hingga tanpa sadar, kakiku telah sampai di depan teras rumahku.

Baru saja aku hendak melenggang masuk, seluruh gerakanku terhenti ketika arah mataku terpusat pada sepasang sepatu hitam mengkilap yang berjajar rapi di depan teras, tempatku biasa meletakkan sandal yang kupakai.

Ada tamu rupanya. Tapi, siapa?

"Tidak pernah terpikirkan sebelumnya bahwa Pras akan pergi secepat ini."

Tu Me Manques [Finished]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang