Untuk, Rukmini Chamim
Djl. Gadjah Mada Utara No. 10Ni, kabar ada baik. Sedjak April lalu
mendapat promosi djadi Adjudan Pak
Nas. Lupa memberitahu, aku menetap
di Djakarta -/+ 1 tahun sampai masa
tugas habis. Tinggal di paviliun rumah
Pak Nas bersama rekan.Di sini senang. Putri Pak Nas bernama
Ade lutju sekali. Ingin lain waktu nanti
kuperkenalkannja padamu. Balas surat
di alamat badju surat, ja. Djika sibuk,
tak perlu buru-buru.Djaga kesehatanmu & djangan sampai
sakit.Dari, Pierre
Aku membaca sekali lagi surat yang kemarin Pierre kirim dengan alamat yang berbeda.
Jika dingat-ingat, waktu memang bergulir begitu cepat. Tidak terasa aku dan Pierre telah melalui banyak hal bersama.
Tiga bulan terakhir, Pierre tidak datang ke Medan. Aku mengerti, perjalanan ke Medan mungkin memakan waktu cukup lama serta Pierre pun memiliki kesibukan sendiri entah masalah pekerjaan atau waktu yang ia sisihkan untuk keluarganya di Semarang. Meski sudah jarang sekali bertemu, kami tetap rajin berkomunikasi melalui surat. Aku mengirimkan surat untuknya dan begitu juga sebaliknya.
Dalam surat, kuceritakan padanya bahwa Uday dan Sina sering merindukan kehadirannya di Gubuk baca. Lalu, Puji dan Mas Ghani menitipkan salam untuknya, serta Ibu tidak henti-henti bilang ingin Pierre segera datang ke rumah.
Pierre menanggapi dengan baik. Tetapi, tidak bisa kuketahui secara rinci seperti apa reaksi wajahnya ketika mengetahui semua yang kutulis untuknya sebab Pierre benar, pemuda yang usianya kini telah menginjak dua puluh enam tahun lebih itu tidak pandai menulis surat.
Tulisan latin Pierre tegak bersambung seperti tulisan pada umumnya. Tapi, tidak begitu rapi. Beruntung aku dapat membacanya dengan jelas. Ia juga sering meninggalkan kata hubung di kalimat yang ia tulis dalam suratnya sehingga terlihat aneh ketika suratnya kubaca. Waktu kukatakan padanya, Pierre bilang ia terbiasa dengan bahasa Jawa sedangkan pada keluarganya sering menggunakan bahasa Inggris dan Belanda. Pernah kukatakan padanya bahwa aku tidak keberatan dia menulis dengan bahasa jawa. Tetapi, ia tidak menggubris.
"Mau kaubalas suratnya?" tanya Ibu yang tahu-tahu berdiri di belakangku.
Aku meraih pena dari kaleng bekas tempatku biasa menyimpan alat tulis. Selembar kertas kutarik dari tumpukan dalam laci.
"Iya, aku lupa tidak membalas suratnya kemarin," jawabku.
"Aduh, Ibu lupa, dia jadi Ajudan siapa?" Ibu kembali bertanya padahal baru kemarin aku memberitahunya.
"Pak Nas, Bu. Katanya, Pierre menggantikan Ajudan Pak Nas yang gugur waktu bertugas."
Tidak menyadari perubahan suaraku yang terdengar begitu khawatir, Ibu malah tersenyum sumringah.
"Wah, hebat benar Pir. Nasution itu bukan orang sembarangan. Dia KASAD bukan?" katanya penuh kagum.
Aku menghembuskan napas berat. "Tidak, Bu. Pak Nas memegang posisi KASAB. KASAD dipegang Pak Yani."
"Oh, sudah berubah? Tahu dari mana kau?"
"Ibu ini, tentu aku tahu."
Setelah percakapan singkat itu, Ibu memilih berlalu. Mungkin tahu karena aku ingin menulis untuk balasan surat Pierre. Tapi, entahlah.
Untuk, Pierre Tendean
Djl. Teuku Umar No. 40Alhamdulillah kabarmu baik. Dan
Alhamdulillah untuk tugas barumu.
Aku lebih tenang mendengar kini
kau ditugaskan mendjadi seorang
Adjudan. Ibuku djuga gembira tahu
hal itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tu Me Manques [Finished]
Historical FictionTidak ada seorang pun yang mau disuruh mengerti ketika dihadapkan oleh perkara kehilangan. Tidak seorang pun termasuk aku. "Kau tahu, Ni. Aku tidak masalah jika harus gugur untuk Negara tercinta kita ini. Tapi, setelah denganmu, jika bisa aku ingin...