Lima🌵

19 2 0
                                    

🌻🌻🌻

Alin menatap pintu besar yang berada di depannya. Ia ragu antara membukanya atau tidak. Dengan beribu keyakinan Alin mulai mendorong pintu itu dengan hati hati. Namun mungkin keberuntungan tidak berpihak kepadanya. Semua keluarganya ada di ruang makan untuk makan malam.

Ia melangkahkan kakinya kearah tangga. Ia menundukkan kepalanya tatkala melihat ayahnya menyorotnya. Ia bagaikan angin lalu yang tidak dianggap kehadirannya. Sayup sayup ia mendengar percakapan dan gurauan mereka di meja makan.

"2 hari lagi kan ulang tahun Alen. Gimana kalau kita rayain di tempat biasa?." Tawar Ressa kepada Arumi dan Alenia.

Pertanyaan itu sukses membuat hati Alin mencelos. Ia iri. Bahkan selama 17 tahun usianya belum pernah di rayakan seperti apa yang selalu Ressa dan Arumi lakukan pada Alen. Alin disini seperti seonggok debu yang tak penting dan mengotori rumah.

Alin menutup pintunya dan menguncinya. Badannya merosot di balik pintu dengan air mata yang sudah tidak bisa lagi di bendung. Alin bukanlah alin yang cerita, bobrok dan gila kalau di rumah, ia cenderung menjadi pendiam dan penutup, Menutupi rasa sakit dan luka yang ia terima.

Seperti saat ini. Ia menangis tanpa suara, menahan pedih dan rasa sakit yang ia rasakan. Alin beranjak dari duduknya lalu berjalan menuju balkon kamarnya. Ia melihat satu foto yang sempat ia raih dari meja belajarnya. Satu tetes air mata jatuh membasahi figura yang ia genggam. Jari jemarinya mengusap wajah seorang lelaki yang ada di foto itu.

Farel Anggara. Kakak kandung yang selalu ia banggakan. Yang selalu jadi tempatnya pulang. Dan penghibur kala Alin bersedih. Kini sudah berpulang dan tak bisa Alin peluk lagi. Alin menatap langit yang penuh bintang, lalu mengusap air matanya kasar dengan punggung tangan.

"Kak Farel Alin kangen sama kakak." Lirihnya sambil memandang satu bintang yang paling terang.

🌻🌻🌻

Langit sudah menampilkan sang surya. Begitupun Alin yang sudah bersiap siap untuk ke sekolah. Ia menyisir rambutnya dan membenarkan dasinya yang terpelintir.

"Good. Lo cantik Lin. Kali ini Barisan pasti tertarik sama lo." Ucap Alin bermonolog di depan cermin.

Alin menenteng sepatunya dan berjalan keluar kamar menuju garasi dimana motornya berada. Namun sesampainya di sana. Alinea di kejutkan dengan sebuah motor scoopy berwarna putih di posisi yang harusnya di tempati oleh motornya.

Alin terdiam. Melihat sekeliling, namun nihil, ia tak menemukan motornya. Di saat bersamaan, Ressa berada di depan rumah dengan setelan jas kegemarannya.

Tanpa pikir panjang dan juga sedikit keberanian yang ia genggam, ia menghampiri Ressa yang masih mengobrol dengan Arumi di depan rumah.

"Papa motor Alin mana?." Tanyanya to the point pada Ressa.

"Udah papa jual. Buat beli motor buat Alen." Ucap Ressa singkat.

"Ta-pi pa, Alin ke sekolah naik apa?. Itu juga motor peninggalan kak Farel pam" Tanya Alin dengan menahan air matanya. Alin akan jadi gadis yang cengeng jika bersama keluarganya.

"Naik bis sana. Lagi pula gak ada gunanya kamu ke sekolah. Kamu gak kayak Alen. Alen itu pinter gak kayak kamu. Papa juga nyesel nurutin kemauan kamu buat ngasih motor kakak kamu itu ke kamu."

Alin membanting helm yang ia tenteng di hapadan Arumi dan Ressa. Ia berjalan dengan langkah cepat menuju halte yang tak jauh dari rumahnya. Air matanya tak bisa lagi ia bendung. Namun Alen tidak mau ada yang melihatnya, ia terus menerus menghapusnya kasar dengan punggung tangan dan malah menjadikan mata Alin terlihat sembab.

5 menit berlalu, Bis yang melewati sekolahnya sudah berhenti di depannya. Ia segera naik karena 5 menit lagi bel masuk akan segera berbunyi. Ia mengetuk ngetukkan jarinya di jendela sambil matanya melihat keluar jendela. Namun realita dan ekspektasinya berbeda, ketika sampai di halte sekolah, nampak Gerbang sekolah itu sudah di tutup.

Alin segera berlari menuju depan gerbang sekolahnya. Ia mulai mengetuk ngetukkan jari telunjuknya di dagunya. Satu satunya cara yang bisa ia lakukan agar bisa tetap mengikuti pelajaran adalah melompat pagar itu. Pagar itu tidak terlalu tinggi untuk di panjat. Tingginya sekitar 2 meter.

Saat akan memulai aksinya. Alin melihat seorang gadis tergopoh gopoh berlari kearahnya. Ia mengenal gadis itu. Intan. Itu adalah Intan sahabatnya. Alin melipat kedua tangannya dan menunggu Intan sampai di hadapannya.

"Capek?." Tanya Alin pada sahabatnya itu.

"Iyalah bege. Udah tau ngos ngosan gini."

"Tapi sayangnya usaha lo sia sia. Ni gerbang udah di tutup ahahaha." Alin menepuk pundak Intan dan tertawa renyah.

"Trus gimana?." Tanya untan polos.

"Satu satunya cara kita harus manjat." Ujar Alin datar dan melemparkan tasnya ke dalam area sekolah. Dan Intan hanya memandanginya cengo.

"Lo mau masuk gak?. Kalau gak yaudah." Tanya Alin pada Intan yang masih memandanginya cengo. Lalu mulai memanjat pagar dengan kaki kaki jenjangnya.

Tak lama Intan pun mulai mengikuti Alin. Ia melemparkan tasnya ke dalam area sekolah lalu ikut memanjat pagar seperti yang di lakukan Alin. Namun ia lebih sulit karena ia memakai rok tidak seperti Alin yang memakai celana. Alin dan Intan sudah separuh jalan. Namun pak Bambank selaku guru BK SMA Rajawali utama datang dengan membawa gergaji di tangan kanannya. Dan tangan kirinya memilin kumisnya.

"Mampuus." Lirih Alin dengan melihat kearah Intan. Namun Intan hanya memandang dengan sorot mata ketakutan.

"ALIN ,INTAN NGAPAIN KALIAANN?." Tanya pak Bambank dengan menodongkan gergajinya kearah Alin dan Intan bergantian.

"Itu pak anu." Coloteh Alin sambil menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Satu tangannya masih berpegang paga pagar untuk menjaga keseimbangan.

______________________________________

BARISAN ALINEATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang