"Tidak semudah itu melupakan pertemuan yang sudah lma terjalin dan melihatnya bahagia bersama taman batu itu sangat menyakitkan."
- Human Parasite -
***
Anindihita menoleh mendapat seorang laki-laki berbaju hitam serta celana robek-robek dan rambut sebahu.
"Kenapa Mas? Saya baru hari ini jualan di sini," jawab Anindihita.
"Lo enggak izin sama gue, mau jualan di sini? Lo pikir Lo siapa, hah?!" pekik orang yang memiliki badan kekar.
Di sekitar lampu merah memang banyak preman yang berjaga layaknya yang mempunyai jalan. Tapi, banyak yang tak menampakkan wajahnya. Ada yang berperawakan gendut hingga bertatto. Bisa saja keesokan hari sudah muncul berita melalui televisi atau koran, karena ulah para preman yang bengis.
"Mas siapa? Ini 'kan jalan, saya bukan buka toko, kenapa harus izin?"
"Gue yang punya lokasi di sini! Jadi jangan macam-macam lo! Kalau mau di sini harus bayar! Tau enggak lo?!" bentak si pria itu.
"I ... iya ma ... maaf Mas, saya enggak tahu," Anindihita menunduk meminta maaf karena ia memang tak tahu jika harus membayar.
"Tapi, bayar apa ya Mas? tambah Anindihita.
"Uang keamanan lah! Lo kira gue jaga enggak cape?"
Pria itu masih mencoba menindas Anindihita yang nampaknya masih belum tahu apa-apa.
"Iya maaf Mas, saya 'kan belum laku juga. Gi ... Gimana mau bayar," keluh Anindihita meminta pengertian dari si pria itu.
"Gue enggak peduli! Mau lo dapat berapa banyak yang beli atau enggak, lo tetap ada di area gue. Jadi wajib bayar!" jeritnya sambil matanya terbuka lebar.
"Saya enggak punya uang Mas, saya juga baru kerja hati ini," Anindihita menegaskan kembali bahwa ia memang tak memiliki uang.
Tangan kekar sang preman terangkat bersiap melayangkan sebuah pukulan ke arah Anindihita. Anindihita memejamkan matanya, ia sudah tak tahu harus melawan. Pasti kekuatan yang dimilikinya akan kalah dengan preman yang badannya jauh lebih besar darinya.
"Mas, saya akan bayar tapi setelah saya dapat uang ya, Mas. Saya mohon," Anindihita menyatukan kedua telapak tangan meminta keringan.
"Serah lo dah, tapi kalau sampai lo enggak nyetor, gue jamin, besok rumah lo bakal jadi acak-acakan," sang preman itu mengancam Anindihita jika Anindihita tak membayar uang keamanan padanya.
"Iya Mas."
Setelah dua jam Anindihita berjualan, menawarkan ke siapa pun yang Anindihita lihat. Namun, hasilnya nya satu majalah yang terjual yang artinya ia hanya mendapat lima ribu rupiah, karena setengahnya akan dibagi kepada Pak Ari - sang pemilik ruko tempat Anindihita mengambil majalah.
Anindihita harus tetap ikhlas dan bersyukur walau hanya mendapatkan upah lima ribu untuk hati ini.
"Semangat Anindihita, semoga besok bertambah banyak," guman Anindihita.
Anindihita kembali ke ruko dan mengembalikan majalah yang dibawanya tadi.
"Pak, ini saya kembalikan ya, soalnya yang beli hanya satu dan sudah sore. Saya izin pulang ya, Pak," ujar Anindihita menyerahkan uang dan majalahnya.
"Iya, hati-hati kamu."
Sebelum menginjakkan kaki keluar dari ruko, Anindihita tiba-tiba saja teringat ketika seorang preman menghampirinya dan meminta uang keamanan. Ia berniat untuk bertanya apakah itu benar atau hanya akal-akalan sang preman saja.
Anindihita kembali menghamili Pak Ari, "Pak, saya mau tanya, emang kalau di sini harus ada uang keamanan ya?" tanya Anindihita.
"Enggak ada,.kamu jualan di mana memangnya?" Pak Ari mengerutkan dahinya, seingat Pak Ari tidak ada uang keamanan.
"Di lampu merah.soalnya kemarin-kemarin saya lihat ada anak kecil yang jualan di sana. Jadinya saya ikut saja, Pak," jelas Anindihita secara runtut.
"Coba kamu jelaskan ciri-ciri yang menagih uang keamanan ke kmu," balas Pak Ari.
Anindihita mencoba mengingat rupa preman yang memarahinya ketika ia berjualan majalah, " Tubuhnya kekar, rambutnya sebahu, celananya robek-robek, wajahnya sedikit menyeramkan," jelas Anindihita menyebutkan ciri sang preman dengan sangat jelas.
"Oh dia, itu namnya bang Warto. Dia memang penguasa di lampu merah. Kalau kamu mau jualan jangan di sana, cari tempat lain," peringat Pak Ari agar Anindihita tak terkena masalah.
"Tapi ... tadi dia minta uang keamanan ke saya dan kalau enggak kasih, bakal ke rumah saya," ucapnya dengan keraguan.
Pak Ari berpikir sejenak, agar Anindihita tak terlalu khawatir. "Kamu besok pulang dulu sebelum ke sini terus ubah dandanan kamu jadi beda dari hari ini, supaya Bang Warto enggak ngenalin kamu," usul pak Ari kepada Anindihita.
"Akan saya coba Pak, terima kasih. Saya pulang dulu," pamit Anindihita.
Untungnya Anindihita membawa air mineral yang ia masak sejak pagi sebelum berangkat sekolah. Anindihita meneguk airnya perlahan untuk menyegarkan kerongkongannya yang sejak tadi terasa kering.
***
Anindihita melambaikan tangan ke arah Tarie yang baru saja datang, namun Tarie mengacuhkan lambaian tangan dari Anindihita, sedangkan Anindihita hanya bisa bersabar, mungkin Tarie masih butuh waktu yang lebih lama.
Anindihita pun harus belajar mandiri, tak bergantung terus kepada Tarie, yang selama ini bergantung dengan kehadiran Tarie.
Tiba-tiba ada yang merangkul bahu Anindihita, Anindihita refleks membalikkan tubuhnya.
"Bagaskara," panggil Anindihita.
"Hm?
Tarie tak sengaja melempar pandangan ke arah Anindihita yang sedang berjalan. Matanya memicing tajam ketika melihat Bagaskara yang merangkul Anindihita kayaknya teman yang begitu dekat.
"Gue pengen tanya sama lo, kenapa lo waktu itu mau bersedia jadi tempat curhat pas gue lagi nangis?" tanya Anindihita yang ingin tahu alasan sebenarnya.
"Gue lihat cewek nangis sendirian, ya wajar kalau gue ajak ngobrol. Tapi, enggak semuanya mau ya ... Kalau emang orang yang lagi nangis enggak mau curhat, gue akan tetap diem aja sih enggak ngelakuin apa pun," jelas Bagaskara.
"Bukan modus 'kan lo?" desak Anindihita.
"Ngapain sih modus? Banyak cewek yang ngejar gue," canda Bagaskara seakan-akan ia adalah pria paling tampan di sekolah.
"Cih, gue aja enggak pernah dengar nama lo jdi most wanted sekolah," ledek Anindihita.
"Hahhaha mungkin lo yang kurang gaul kali," cibir Bagaskara yang masih mengakui bahwa ia diincar oleh banyak perempuan.
Tawa keduanya pecah, Tarie yang menyaksikan pun tersulut emosi. Selama ini ia menaruh hati pada Bagaskara, meskipun Bagaskara tak mengenal Tarie, tapi Tarie cukup tahu beberapa hal tentang Bagaskara.
Tarie hanya diam dan melihat kegiatan yang dilakukan Bagaskara saja tanpa berniat mendekatinya. Karena, menurut Tarie, ia belum pantas disandingkan dengan Bagaskara. Maka dengan itu ia menendam semuanya sendiri.
Tarie memilih pergi daripada ia yang dipanas-panasin oleh Anindihita dan Bagaskara secara tidak langsung.
"Kelas lo di mana?"
"Ipa 1," jawab Anindihita. "Kenapa?" lanjutnya.
"Mau gue antar," balas Bagaskara dengan nada serius.
"Ga usah sok serius gitu deh, lagian ini sekolah bukan pertama kali. Jadi enggak usah diantar," tolak Anindihita mentah-mentah.
"Serah dah, gue ke kelas dulu ya," pamit Bagaskara dan berjalan meninggalkan Anindihita.
"Lo tuh sok banget ya, mentang-mentang Tarie ngejauh dari lo, eh sekarang dekat sama cowok," sorak Rine ketika Anindihita tiba di kelas
KAMU SEDANG MEMBACA
Human Parasite✅ (End)
Teen FictionAnindihita, remaja SMA yang terus-menerus bergantung pada teman sebangkunya. Tak ada rasa malu baginya Anindihita menghampiri Tarie, "Tarie, pinjem pr matematika lo dong." ujar Anindihita. "Nih." Tarie menyerahkan pr matematika miliknya. "Tarie, pi...