28. Tragedi

2 1 0
                                    

"Jangan mudah percaya kepada siapapun, terlebih orang yang tak kita kenal."

- Human Parasite -

***

Anindihita masih tetap berjualan majalah setiap pulang sekolah. Ia masih tetap semangat, senyuman terukir tulus dari wajahnya.

"Ayo dibeli, masih terbitan baru," ank Anindihita kepada semua orang.

"Permisi, Dek," ucap seorang ibu yang nampaknya masih begitu sehat tidak kurang apapun.

Tubuhnya masih tegap berdiri serta badan yang masih bisa berfungsi seperti seharusnya.

"Sedekahnya, Dek. Sedikit juga enggak apa-apa," lanjut ibu itu.

Anindihita tak begitu yakin ibu yang meminta sedekah di hadapannya ini adalah pengemis sungguhan.

"Maaf, Bu. Saya enggak ada uang dan lagi kerja buat makan," balas Anindihita yang memang juga membutuhkan uang dan belum mendapatkan penghasilan.

"Saya belum makan, Dek," ucapnya agar Anindihita memberikan uang.

Anindihita masih mempertimbangkan, hatinya mengatakan ibu yang ada di depannya sekarang sedang berbohong atau entahlah Anindihita tidak tahu tapi perasaannya mengatakan tidak.

"Maaf sekali lagi, Bu. Saya harus kerja kalau enggak saya juga belum bisa makan," jawab Anindihita menolak secara halus.

"Pelit banget, Dek. Kamu sekolah pasti punya uang," desak ibu itu memaksa untuk diberikan uang.

"Bukan pelit, Bu. Saya juga bukan keluarga berada yang punya uang banyak. Jadi, saya sendiri harus kerja," jelas Anindihita yang tak merasa salah akan sikapnya.

"Mendingan saya minta sama yang lain," ketus sang ibu dan memilih pergi.

Anindihita menggelengkan kepalanya melihat balasan dari sang ibu.

"Masih sehat kok minta-minta, saya saja kerja buat bayar utang, Bu," guman Anindihita yang kembali mengambil majalahnya untuk ditawarkan.

"Anindihita ayo, pasti kuat. Ingat Bagaskara udah ngaish apa saja, harus bisa ganti."

Petang mulai hadir menunjukkan langit mulai berganti warna dari biru menjadi oranye. Di saat itu pula Anindihita baru menginjakkan kakinya di rumah.

Anindihita memegang kenop pintu rumah dan membukanya. Tidak disangka anak kucing yang ia rawat baru satu hari itu menyambut kedatangannya.

"Hai," Anindihita menyapa anak kucing itu dan menggendongnya.

"Kamu kok pintar banget, hm? Nyambut aku pulang?"

"Laper ya?" tanya Anindihita dengan tangan yang terus mengelus tubuh anak kucing itu.

"Miaw."

Kucing itu seakan mengerti apa yang dikatakan Anindihita, walau tidak dapat menjawabnya. Ia hanya dapat mengeong sebagai bentuk balasan.

Anindihita mengambil makanan dan menuangkan pada wadah makanan milik anak kucing tersebut. Anak kucing itu memakan makanan yang diberikan Anindihita denhan sangat lahap.

"Bentar ya, ambil air dulu," pamit Anindihita.

Kembalinya Anindihita mengambil air untuk kucing itu. Ia merogoh sakunya untuk menghitungnya pendapatan yang didapatnya.

"Tiga puluh ribu."

Anindihita tersenyum walau ia tak mendapatkan pendapatan yang banyak ia masih merasa bersyukur bisa diberikan rezeki.

***

Langit mulai berganti menjadi biru, pertanda hati sudah pagi dan berganti hari. Anindihita yang masih tertidur pulas terlonjak mendengar suara keributan yang berasal dari arah luar.

"Heh! Bayar utang lo. Pas minjam saja baik-baik, pas ditagih malah kayak yang enggak punya salah," teriak Mak Caca pada tetangga rumah Anindihita.

"Apaan? Gue mana punya utang sama lo. Gue kaya mana mungkin gue ngutang sama lo," sahut ibu-ibu yang memakai kalung emas

"Duit bisa bikin orang jadi gila juga rupanya," umpat Mak Caca. "Amnesia? Ke dokter sana biar ingat kalau punya utang sudah lima bulan belum di bayar!" Mak Caca tak kalah berteriak meminta uang yang dipinjam untuk dikembalikan.

"Surti-surti dulu saja enggak da uang sok-sok baik, 'Mak pinjam duit boleh enggak, kalau suami gue gajian, gue bayar' lupa Lo?" ucap Mak Caca bercerita tentang bagaimana Surti meminjam uang kepadanya lima bulan lalu.

"Hih sejak kapan, aduh gini nih orang kalau mau minta duit sama orang malah bilang kalau dia diutangin," balas Surti yang mengelak dari balasan Mak Caca.

"Perlu bukti? Gue kasih bukti!" murka Mak Caca yang sudah tak bisa menahan emosi.

Mak Caca mengeluarkan sebuah buku panjang dan tebal.

"Tanggal lima April atas nama Surti, dua ratus ribu," ujar Mak Caca membacakan tulisan yang dicatatnya.

"Nah baca, ya kali enggak bisa baca," sindir Mak Caca yang menunjukkan buku tersebut di depan wajah Surti.

"Surti mana tuh? Bukan gue kali, suka-suka saja bilang gue," protesnya yang merasa tak pernah memiliki uang.

"Ibu-ibu, masih pagi jangan teriak-teriak. Enggak enak sama tetangga yang lain," Anindihita keluar dari rumah untuk melerai keduanya agar tak semakin emosi satu sama lain.

"Maaf Bu, bukan maksud apa-apa. Tapi ini masih pagi, enggak enak sudah berantem seperti ini," Anindihita menyatukan kedua telapak tangannya memohon maaf bila kedatangannya tak diharapkan.

"Iya, masih pagi bikin emosi saja," timpal Surti yang memanipulatif keadaan.

***

Bu Nindi yang tengah bersantai memilih menonton televisi untuk mendapatkan berita atau tentang infotainment lainnya. Ia masih mencari siaran televisi yang menurutnya.menarik serta dapat mendapat info.

"Penemuan beberapa jenazah di sebuah gudang kosong membuat geger warga di sekitar lokasi. Polisi yang berada di tempat TKP mengaku bahwa organ yang terdapat pada jenazah itu sudah tak lengkap dan ada beberapa sobekan di tubuh mereka," Sang pembawa berita membacakan berita penemuan jenazah yang masih belum diketahui asal usulnya.

"Ngeri banget ya, astaga. Zaman sekarang kok pada tega," guman Bu Nindi menanggapi berita yang didengarnya.

"Ditemukan KTP di dalam tas jenazah. Akan kita selidiki lebih lanjut. Dugaan sementara motif pembunuhan ini memperjualbelikan organ dalam manusia," ujat polisi yang ada di TKP.

Setelah pemberitaan tersebut. Ditayangkan foto dan identitas jenazah yang menjadi korban pembunuhan.

"Parto dan Juni termasuk?" Astaga. Berarti ... pekerjaan yang ditawarkan itu enggak benar sama sekali," ujar Bu Nindi yang masih tak percaya dan juga syok melihat foto Juni dan Parto terpampang jelas di televisi.

Bu Nindi segera menemui Anindihita di rumahnya.

"Anindihita," panggil Bu Nindi dengan rasa yang bercampur aduk pada dirinya.

Rasa cemas, khawatir dan juga rasa bersalah ada dalam dirinya saat ini. Rasa bersalah karena telah menawarkan kepada Juni tentang pekerjaan yang masih belum ada kejelasannya dan berakhir dengan berita buruk dan bukan sebaliknya.

Bu Nindi mondar-mandir menunggu Anindihita keluar dari dalam rumah.

"Iya Bu, ada apa? Ibu sama Ayah sudah ngasih kabar?" tanya Anindihita dengan tersenyum.

Bu Nindi membalikkan tubuhnya, nampak raut cemas untuk menceritakan berita yang baru saja didengarnya.

"Ibu kenapa?" tanya Anindihita yang berubah khawatir melihat Bu Nindi.

Bu Nindi memeluk erat tubuh Anindihita, tangisnya pecah. Ia mengigit bibirnya untuk menahan suara tangisannya.

Anindihita membalas memeluk Bu Nindi, namun raut kebingungan nampak pada wajahnya yang meminta penjelasan.

"Ibu tenang dulu ya, kalau sudah tenang. Cerita sama Anindihita," bisik Anindihita untuk menenangkan Bu Nindi.

Human Parasite✅ (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang