bagian empat💎

1.9K 150 8
                                    

Gue dan Sunghoon lagi duduk-duduk santai di kamar. Kita masih di istana keluarga Park. Entah, gue sendiri nggak tau sampai kapan kita nginep di sini. Karena gue belum tanya ke suami gue juga sih.

Di sini gue nggak betah, mama mertua selalu aja bikin gue serba salah. Ikut bantu-bantu salah, nggak bantu makin salah. Mungkin kehadiran gue di sini juga salah besar. Tapi balik lagi, bukan gue yang menginginkan posisi ini sekarang.

Gue nikah sama Sunghoon juga karena perjodohan. Sunghoon nikah sama gue karena paksaan Oma, dan gue cuma tim pasrah. Mana ada bangun cinta? Itu cuma judul lagu. Gue nggak berharap banyak Sunghoon bakal suka sama gue. Dia mau kasih sedikit perhatiannya aja udah alhamdulilah.

Yang penting bagi gue, Sunghoon nggak KDRT. Kalau masalah dia mau punya pacar di luar sana? Itu privasi dia, gue punya hak marah, tapi mungkin banyak-banyak sadar, sadar posisi. Gue bukan wanita yang dia cinta, dan Sunghoon jelas butuh bahagia. Dan gue bukan sumber kebahagiaannya.

Dia hanya menghargai kehadiran gue, tapi tidak menerima gue. Itu yang gue rasakan.







Satu jam lamanya di kamar kita saling diem-dieman. Gue sibuk belajar dan Sunghoon daritadi fokus main game. Pas denger pintu kebuka. Kita kompak mengalihkan perhatian ke siapa orang yang datang tanpa permisi tersebut. Mama Park.

Dia langsung masuk ke kamar. Dengan ekspresi sinis saat melihat gue. Gue cuma diam sampai mama Park sendiri mengutarakan maksud kedatangannya.

Entar kalau gue tanya, salah lagi. Dibilang nggak sopan. Mending diam, dan lebih mending lagi gue menghilang...

"Kamu lagi ngapain?" Tanya mama Park seraya melirik buku-buku yang berserakan di depan gue.

"Saya sedang belajar" jawab gue dengan gugup.

Mama Park tersenyum lalu berubah menjadi seringai aneh, "bagus deh kalau kamu belajar. Jadi keluarga saya nggak sia-sia menghamburkan uang untuk orang miskin kaya kamu?!"

Gue menunduk dalam dan diam. Percuma gue melawan, hanya berakhir sia-sia. Takut juga dosa ke mertua.

Memang miskin adalah cita-cita? Semua orang miskin juga berusaha untuk mengubah nasib mereka. Gue miskin, tapi gue belajar supaya nggak bodoh. Apalagi bodoh karena mencaci level seseorang.

"...malu saya punya mantu miskin kaya kamu!" Sambungnya. Membuat gue yang semula tegar kini benar-benar meneteskan air mata.

"Steve! Ikut mama" mama Park beralih ke sunghoon. Entah mau mengajaknya kemana.

Sunghoon dengan pelan beringsut dari kasur dan dengan langkah gontai berjalan mendahului mamanya. Gue hanya bisa memandang keduanya keluar dari kamar.

Memang seburuk apa gue? Orang miskin juga manusia, dan mereka juga perlu dihargai. Sama-sama punya hati, dan memiliki hak yang sama juga. Kenapa harus dibeda-bedakan?
















Tepat saat gue selesai mengerjakan tugas sekolah, gue merapikan buku yang tadi gue pakai ke dalam tas. Bertepatan pula dengan gue yang bersiap untuk tidur, Sunghoon kembali masuk ke kamar dan langsung mengambil posisi awalnya tadi.

Gue hanya meliriknya, dan berusaha tak peduli. Gue terlalu lelah dengan hari ini. Tinggal sama mertua tuh kaya di neraka. Mengerikan!

"Mas Sunghoon tadi kemana?" Tanya gue. Basa-basi dulu, sebelum gue mengucapkan selamat malam untuknya.

Sunghoon gue lihat menyamankan posisi punggungnya yang bersandar di kepala ranjang. Lanjut melirik gue sekilas yang ada di sampingnya.

"...nggak kemana-mana. Cuma diajak ngobrol" sahutnya. Yang dingin, yang cuek kaya biasa.

"Oh.. aku mau tidur. Selamat malam" ucap gue seraya menarik selimut hingga sebatas dada. Tapi...

"Maafin mama..."


















Tiga hari berlalu, dan hari ini akhirnya gue sama Sunghoon bisa balik ke rumah sendiri. Kena mental gue lama-lama hidup bareng mertua. Setiap yang gue lakukan nggak pernah ada benarnya. Untungnya masih ada Oma yang kadang ngasih pembelaan. Di istana Park cuma Oma yang mau baik sama gue.

Pukul empat lebih sembilan menit, Sunghoon baru datang menjemput. Tadi udah chat. Katanya kejebak macet. Padahal gue pulang jam setengah 3. Dan, udah berapa lama gue nunggu suami gue ini di depan gerbang sekolah?

Gue mau pesen ojol juga dia udah terlanjur bisa jemput. Kasian kalau gue tinggal.

Gue masuk mobil dan masang sabuk pengaman. Muka gue bisa dipastikan udah buluk sama penampilan yang nggak karuan bentuknya.

"Maaf ya. Tadi macet" ujar Sunghoon ke gue dengan nada bersalah. Tapi masih dengan ekspresi esnya.

Gue cuma mengangguk untuk menanggapi. Tapi nggak tau kenapa, Sunghoon belum juga jalanin mobilnya. Gue yang semula menunduk lalu menatapnya dari samping.

"Kita nggak pulang?" Tanya gue penasaran.

Sunghoon tanpa menjawab malah mengulurkan tangannya untuk menyentuh kening gue. Reflek gue agak menghindar.

"Ini kenapa pakai plester? Kemarin saya liat siku kamu juga" tanya Sunghoon. Gue deg-degan setengah mati.

"A-anu mas. Ini tadi kena bola pas olahraga.. iya" jawab gue terbata. Gue berpikir keras untuk mencari jawaban tersebut.

Sunghoon berkerut dahi dan menatap gue dengan pandangan tak percaya, "beneran? Kalau kena bola harusnya berefek benjol. Bukan jadi luka gores dan diplester" gue kicep. Bisa-bisanya gue nyari alasan tanpa tau kalau suami gue ini orangnya kritis banget.

"Eemm... Mas Sunghoon nggak percaya ya? Tapi emang beneran kena bola kok!" Kata gue berusaha meyakinkannya. Gue mohon Tuhan semoga Sunghoon percaya. Gue nggak mungkin bisa jujur atas luka yang gue punya ini.

Sunghoon hanya mengendikan bahunya, dan tangannya beralih ke stir mobil, "yaudah saya percaya. Asal kamu nggak menutupi apapun dari saya. Saya gini bukan ada maksud apapun, saya cuma mau jaga kamu. Kamu tanggung jawab saya sekarang".

Gue tertegun mendengarnya. Kalau lama-lama gue jatuh cinta sama Sunghoon gimana?

Oke, itu emang nggak salah. Karena dia adalah suami gue yang sah secara agama dan negara. Tapi, gue nggak tau pernikahan ini sampai kapan. Bisa aja setahun lagi atau dua tahun lagi gue sama Sunghoon cerai kan? Itu bisa saja terjadi. Sunghoon juga nggak mungkin betah hidup sama bocah kaya gue.

Sunghoon mulai menyalakan mobilnya. Dan gue masih dengan lamunan yang gue ciptakan.

Sebenarnya luka yang ada di kening ini. Gue dapat dari perundungan geng richgirl. Sehabis olahraga tadi, Bianca beserta teman-temannya membawa gue ke ruang olahraga. Gue sendiri juga nggak tau kenapa gue selalu jadi sasaran bullyannya. Gue diseret dan Bianca sendiri yang dorong gue sampai kepala gue membentur meja. Iya, luka di kening gue karena gue dibully.

Dan gue nggak mau Sunghoon bahkan orang-orang di luar sekolah tau. Asalkan gue masih hidup, biarkan Tuhan yang kuasa membalasnya.



Seperti biasanya, setelah mobil diparkir di garasi, Sunghoon keluar lebih dulu dan membuka pintu rumah. Gue berjalan mengekor di belakangnya. Tapi pikir gue, Sunghoon agak aneh. Dia diam, ya emang tiap gue liat dia emang sering diam. Tapi diamnya kaya mikirin sesuatu.

"Nanti malem saya ada kumpul sama teman. Kamu.. beranikan tidur sendiri?" Tanya Sunghoon yang posisinya sedang berhenti di anak tangga. Gue mendongakkan kepala untuk melihatnya.

"Mas Sunghoon nggak pulang?" Tanya gue.

"Kalau kamu nggak berani di rumah sendiri, saya bakal pulang" jawabnya.

Sejujurnya gue kecewa karena bakal ditinggal sendirian, tapi..

"Aku berani kok!" Balas gue pada akhirnya.

Me And SunghoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang