bagian enam belas💎

1.4K 112 5
                                    

Keringat dingin keluar bersamaan ketika Muti mengangkat tangannya untuk hormat pada sang saka. Muti masih ingat kalau dia sudah sarapan dan dia juga yakin tidak pernah memiliki riwayat darah rendah. Tapi semakin dia tahan, penglihatannya mulai kabur, dunia seperti berputar dan berakhir badannya ambruk ke belakang.

Muti masih mendengar suara riuh orang-orang yang menolongnya, juga masih merasakan tubuhnya diangkat seorang petugas kesehatan. Bau-bau seperti minyak kayu putih menusuk indera penciumannya. Perlahan saat kesadarannya kembali. Muti sudah ada di ruangan UKS. Kepalanya masih berdenyut nyeri, tapi tatapan selidik dari Bu Sakura justru mengagetkan Muti.

"Ini udah kelima kalinya kamu pingsan saat upacara." Ujar Sakura. Kedua matanya masih menatap muridnya itu dengan selidik. Dari tatapannya syarat dengan praduga negatif pada Muti.

Muti ketar-ketir sendiri. Dia yang baru sadar bingung harus menjawab apa. Lagi pula dia tidak tau maksud dari sang guru.

"Saya lupa sarapan Bu." Dusta Muti. Mana pernah dia meninggalkan jatah sarapan paginya.

Sakura agaknya tidak percaya, tangannya terulur untuk menyentuh perut Muti. Kedua bola mata Muti melotot saat itu juga.

"Kamu hamil, nak?" Tanya Sakura pada Muti. Beberapa Minggu ini perhatian Sakura memang tertuju pada Muti. Kasus seperti Muti pernah terjadi beberapa kali. Posisi Sakura sebagai guru BK di sekolah, bisa dipastikan tidak akan salah menebak.

"Kalau kamu tidak jujur, kita paksa tes di sini." Kata Sakura dengan nada tegas. Muti menunduk dengan air mata yang sudah menetes membasahi kedua pipinya.

"Sa-saya... Memang hamil Bu." Muti mengaku, pun membuat seisi ruangan UKS menatapnya horor. Termasuk Sakura sendiri. Guru dengan parah cantik itu menghela napas kekecewaan pada Muti.

"Saya akan panggil bunda kamu untuk segera ke sekolah." Ujar Sakura sudah ingin pergi. Tapi Muti dengan cepat menahan.

"Jangan Bu. Bunda saya pasti kecewa dengan saya."

"Lalu? Sebelumnya kamu berpikir tidak akibatnya akan seperti ini? Kalau tau, jangan lakukan. Sekolah juga tidak akan menerima siswa hamil. Kamu itu salah satu murid berprestasi di sekolah. Kelakuan kamu ini mencoreng citra sekolah. Kamu tau?" Muti mengangguk dengan apa yang Sakura katakan.

"Papa saya yang akan datang ke sekolah Bu." Putus Muti pada akhirnya.


















Hari Senin terakhir untuk Muti memakai seragam putih abu-abu. Tepat pukul 9 pagi, dia harus hengkang dari sekolah untuk selama-lamanya. Ken yang datang ke sekolah sebagai wali untuk Muti. Muti yang takut bundanya akan kecewa jika mengetahui dia dikeluarkan karena hamil.

"Maafin Muti ya, pa?" Ucap Muti setelah mereka sampai rumah.

Ken, papa dari Steve dan Kana. Yang tentunya merupakan ayah mertua Muti. Pria setengah baya itu mengelus lembut puncak kepala menantunya.

"Yang perlu disalahin itu Steve. Bukan kamu." Ucapnya.

"Mas Steve juga pasti bakal marahin Muti nanti." Muti dengan lesu.

"Papa bakal marahin dia duluan nanti. Udah sebesar itu nggak bisa mengendalikan nafsunya. Muti tenang aja. Steve lebih takut sama papa, ya?" Muti mengulas senyum tipis dan mengangguk lekas.







Setelah pulang mengantar Muti, Ken kembali ke perusahaan. Tentunya masih banyak pekerjaan yang perlu mertua Muti itu lakukan. Ken begitu sibuk, apalagi jika sudah dinas keluar. Bakal jarang ketemu.

Muti membuka pintu kediaman keluarga Park dengan lesu. Kedua matanya berkaca-kaca seperti ingin menangis. Dia ingin mengaku ke Oma jika dia dikeluarkan dari sekolah hari ini. Muti rasa hanya Oma yang bisa mengerti perasaannya saat ini.

Tidak perlu mencari Oma dengan susah payah. Karena Oma Park sudah menunggunya pulang dan kini duduk manis di sofa. Muti menghampiri sudah menumpahkan air matanya. Oma Park lantas mengelus pundaknya memberi ketenangan. Tapi nyatanya hal itu tidak mempan karena Muti semakin menangis kencang.

"Maafin Muti ya, Oma. Muti dikeluarin dari sekolah." Akunya.

"Hey.. Oma tidak marah dan Oma juga sudah tau. Ken yang bilang." Balasnya. Ada kelegaan tapi ada rasa malu pada diri Muti. Lega karena Oma tidak kecewa terhadapnya lalu malu mungkin karena kehamilannya yang selama ini dia tutupi akhirnya terbongkar.

"Steve udah tau kan?" Tanya Oma.

Muti menggeleng sebagai jawaban.

"Bagaimana mungkin dia nggak tau istrinya lagi hamil?" Nada Oma mulai meninggi.

Muti gelagapan ingin menjawab bagaimana, "anu.. Oma, mas Steve udah tau kok. Cuma kita sepakat merahasiakan." Jujur Muti.

"Astaga sayang. Kenapa harus dirahasiakan? Kamu malu atau kalian mau bikin kejutan buat kita sekeluarga?" Tanggap Oma Park.

"Sebenarnya... Itu. Oma paham kan?" Muti membuat Oma tersenyum dan mengangguk.

"Oma paham. Paham banget. Steve belum mau menerima kamu atau bayinya?" Tanya Oma.

"Keduanya mungkin. Mas Steve belum mau membuka hatinya untuk Muti. Dan Muti tau. Jika suatu saat pernikahan kami ada masalah. Apa Oma mengizinkan kami berpisah?" Tanya Muti yang membuat Oma Park kaget.

"Steve akan mendapat hukumannya, sayang. Kamu tau kan, kalau pilihan Oma itu yang terbaik?" Balasnya.

Muti tidak menjawab karena yang barusan dikatakan adalah faktanya. Oma Park adalah pemilik tahta tertinggi keluarga Park.


















Suasana kamar malam ini hening. Padahal biasanya Sunghoon dan Muti akan meributkan sesuatu sebelum tidur bersama. Sunghoon sudah tau Muti dikeluarkan dari sekolah karena kehamilannya diketahui. Muti bahkan sudah feeling Sunghoon akan ngambek. Dan ternyata benar. Dari awal pun Sunghoon memang ingin kehamilan Muti tak diketahui. Dan sekarang malah terbongkar bahkan hingga satu sekolah Muti juga tau.

Bagaimana Sunghoon tidak marah, coba?

"Gitu amat sih. Yang hamil aku. Yang marah kamu. Apa nggak seharusnya kamu menghibur istri kamu ini?" Sindir Muti yang makin lama makin lelah sebab Sunghoon masih betah ngambek.

Sunghoon belum bicara sejak sore. Hingga menjelang tidur pun Muti belum diajak bicara. Disindir juga tidak mempan. Muti pasrah saja. Jika butuh sesuatu nanti juga ngomong, pikirnya.

"Selamat malam mas." Ucap Muti sebelum tidur.

Sunghoon masih diam dengan memainkan ponselnya. Sampai ketika Muti sudah akan memejamkan matanya Sunghoon berbicara..

"Besok kita pisah kamar aja." Ucapnya tiba-tiba. Muti terjaga kembali yang sebelumnya sudah ngantuk berat.

"Oke." Jawabnya singkat padat dan jelas.

Sunghoon tanpa Muti tau malah melongo karena mendengar jawaban istrinya.

"Gitu doang?" Heran Sunghoon.

"Iyalah. Biar mas nggak repot-repot minta jatah." Balasnya dengan kesal.

"Owwww... Jadi gitu? Maksud kamu nggak mau menjalankan kewajiban kamu?" Balas Sunghoon juga.

"Lhhaaaa kan tadi suruh pisah kamar. Ngapain minta jatah? Sana minta ke guling." Balas Muti tak mau kalah.

"Kamu itu benar-benar ya? Sekali ngga bikin saya emosi bisa nggak?" Muti langsung berbalik badan yang sebelumnya tidur memunggungi Sunghoon.

"Mas ribet banget sih?" Protes Muti pada akhirnya.

"Yaudah saya minta jatahnya sekarang." Muti lantas mendelik tak percaya.

"Sekali mas sentuh Muti. Pergi tidur di luar!" Bentaknya mulai berani.

"Oh mulai berani sama suami kamu?" Tantang Sunghoon.

"Muti nggak takut karena mas itu udah keterlaluan, tau nggak?"

"Jangan pikir Muti nggak bisa marah. Mas minta pisah kamar aku turutin. Merahasiakan kehamilanku juga aku turutin. Melayani kamu meski aku nggak mau juga aku penuhi. Kamu makin lama makin diturutin malah meremehkan aku mas. Aku juga manusia punya batas kesabaran."

Me And SunghoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang