bagian dua puluh satu⚠️

3.3K 119 3
                                    

"Saya butuh kamu bukan Shefia."






Haruskah gue simpulkan kalimat yang diucapkan Sunghoon itu gombalan atau sebuah penenang. Semakin hari Sunghoon memang pandai merayu. Tambahlah keahliannya sekarang dari sekadar nyakitin gue.

"Mas nggak butuh Muti! Mas kira Muti nggak tau kalau mas cuma bersandiwara. Perlu mas tau mas Sunghoon bisa dapetin perusahaan tanpa buat Muti balik. Muti bakal minta ke papa sekarang." Gue mencari ponsel gue dan akan menekan tombol hijau di kontak yang gue beri nama papa Ken. Tapi sebelum itu, Sunghoon merebutnya dan menyimpannya di saku celana miliknya.

Setelahnya dia mencium gue dan memaksakan akses untuk menginvasi semakin dalam. Gue kewalahan. Tapi gue terus mencoba menghentikannya.

Tidak sampai di situ. Sunghoon melepas bajunya dan beralih melepas satu persatu kancing piyama yang gue pakai sekarang. Ketika gue udah nggak ada tenaga untuk menolak, Sunghoon semakin menjadi.

"Saya nggak akan melepaskan kamu. Saya sayang kamu Muti. Izinkan saya memperbaiki semuanya."

"Itu bukan urusan Muti. Mau mas udah sayang, nggak akan bisa merubah kalau mas nggak mengakui anak yang ada di dalam perutku kan?"

"Siapa yang bilang? Saya mengakuinya. Sekarang saya mengakuinya."

"Nggak usah bohong?!"

"Kamu mau pembuktian apa? Sudah jelas kan kalau saya yang nanam benihnya di rahim kamu. Bukannya punya saya yang terbaik, sekali langsung jadi?"

Bukan mendebat sekali lagi. Kedua pipi gue berubah merah. Merona karena ucapan frontal dari Sunghoon. Kadang-kadang yang ada di otak Sunghoon itu memang pikiran kotor. Ambigu didengar.

"Nggak usah diperjelas!" Gue mendorong dada Sunghoon untuk sedikit menjauh darinya.

"Masih perlu bukti apalagi?" Tanya Sunghoon sambil mengecup pipi gue.

"Emang mas beneran berubah pikiran? Muti bakal marah kalau mas bohong." Tanya gue memastikan apa yang dikatakan Sunghoon benar-benar dari lubuk hatinya. Bukan kebohongan untuk membuat gue percaya.

"Iya sayang." Jawabnya. Pipi gue merona lagi. Memang dasar lemah diri gue ini.

"Udah ih!" Jujur saja gue ada salting-salting gitu. Baru pertama dipanggil sayang.

"Sayang sayang sayang. Kita baikan ya?" Pinta Sunghoon dengan wajah serius dan menatap gue dengan lekat.

Gue dengan ragu mengangguk. Katain kalau gue labil. Iya, tapi yang gue inginkan memang Sunghoon yang mau mengakui anaknya yang sekarang gue kandung. Tidak lebih. Mau dia balik kaya dulu pun silakan. Yang penting anak gue diakuin.

Walau gue nggak munafik. Gue sayang banget. Gue sayang suami gue.














Semakin malam. Sunghoon tak kunjung pulang. Padahal apa yang dia inginkan sudah gue penuhi. Memaafkannya? Sudah. Dan gue juga sudah berjanji untuk pulang besok. Bukan apa-apa tapi rumah gue bukan tempat yang nyaman untuk dia tinggali. Rumah gue jauh dari kata layak.

Gue tidak bohong kalau hanya ada dua kasur di rumah ini. Satu punya bunda dan satunya ada di kamar gue. Yang gue pakai dengan Sunghoon sekarang. Saking ukurannya yang kecil karena harusnya cuma muat satu orang. Gue dan Sunghoon tidur dengan posisi miring. Berhadapan dengan Sunghoon yang memeluk gue. Bajunya yang tadi dia lepas bahkan tidak ada niat untuk dipakai lagi. Sunghoon pasti kegerahan. Karena kipas angin yang dulu sering gue pakai sudah rusak.

"Pulang ya? Tidur di rumah aja. Ada AC. Di sini panas. Kamu nggak akan betah mas. Nggak bisa tidur." Oceh gue supaya pria ngeyel di depan gue ini pulang.

Me And SunghoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang