27. Tembak!

1.3K 191 47
                                    

 "Eshter di mana?!!!"

"Kenapa Roy? Ada apa??"

"Eshter di mana, Oma??? Gawattt!!!"

"Iya kenapa???"

"Ava, Oma!!!"

Oma mengerutkan alisnya bingung. "Bukannya dia di kamar bareng Eshter???"

"Lah? Oma gak tau Ava pergi ke rumah April??"

Oma menggeleng. "Ngapain dia kesana?"

"Haduh... Oma jangan syok ya! Kita hadapi dengan tenang okeeee????" Nafas Roy terengah-engah.

"Tenang tenang! Kamu tuh yang dari tadi panik gini! Kenapa sih???"

"Ava mau dibunuh!"

Oma terhenyak.

"Aduh... Udah tua, lupa gue... Semoga gak jantungan..." Ucap Roy dengan nada lirih.

"Kau bilang apa, Roy???" Eshter keluar dari kamar Ava, dan berjalan menuju Roy yg masih berdiri di ambang pintu. Wajahnya nampak sangat terkejut.

"Ava mau dibunuh sama orang tuanya April!"

Mereka berdua semakin terkejut saja mendengar perkataan Roy.

"Kok bisa???" Tanya Oma.

"Nanti deh dijelasinnya! Mending kita ke sana dulu sekarang! Bahaya kalo sampe telat!"

Dengan terburu-buru dan dalam keadaan panik, mereka bertiga pun berangkat menuju kediaman April.

***

"Ada kalimat terakhir yang mau kamu ucapin?" Tanya Budi seraya mengarahkan pistol ke kepala Ava.

"Banyak sebenernya. Cuma saya mau bilang point-point pentingnya doang. Sebelum kalian bunuh saya, saya peringati kalian buat tobat. Kalian gak mau kan, nasib hidup kalian sama kaya April maupun Zayn?"

"Apa maksud kamu, hah?! Ini tidak ada hubungannya sama anak saya!"

Ava tersenyum. "Om sama Tante sadar gak sih, kalo semua yg udah kalian lakuin ini salah? Pesugihan, babi ngepet, ilmu hitam, tumbal." Senyuman itu hilang. "Semua kalian lakuin demi diri kalian sendiri. Andai publik tau kelakuan busuk kalian, entah apa yg bakal terjadi. Kalo dipikir-pikir, cuma saya sama Roy yg tau ini, dan kita gak ada niatan buat bocorin itu. Harusnya dari awal saya bersikap peduli akan hal ini. Tapi dulu saya ngabain ini karna selagi kalian gak ngusik saya maupun keluarga saya, semuanya terserah kalian. Tapi apa? Anak Om itu, manfaatin saya karna saya tau ini semua, dan ngancam saya biar gak ngasih tau ini, juga ngancam biar saya nurutin semua kemauan dia, karna kalo enggak, Oma saya taruhannya. Mulai dari situ, saya berusaha ngelakuin apa yg saya bisa biar Oma aman. Tapi, pas saya punya temen baru, tiba-tiba April sama si Zayn itu, malah mau ngincar temen saya. Saya udah berusaha banget tunduk sama mereka biar dia aman. Tapi, keinginan mereka buat dapetin temen saya sebagai tumbal, betul-betul mereka lakuin. Dan akhirnya apa? Mereka sendiri yg kena hukuman atas perbuatan mereka. Om sama Tante harusnya bersyukur, masih bisa hidup, nikmatin harta haram ini, dan belum dikasih adzab! Sekali lagi saya peringati, mending kalian berhenti dan tobat! Saya gak main-main."

Penuturan Ava itu, justru semakin membuat mereka murka. Mereka tidak suka diceramahi seperti ini. Mungkin saja, mata dan telinga mereka sudah tertutup rapat untuk sekedar melihat dan mendengarkan hal baik.

"DIAM KAMU!" Suara Budi menggelegar ke seluruh penjuru ruangan.

"Masih bocah, tidak usah sok-sok an merasa paling benar!" Sentak Santi.

Ava hanya mengendikkan bahunya tak acuh. Setidaknya, dia sudah memperingati mereka walau tak didengar.

Budi mulai menarik pelatuk pistolnya, semakin mendekatkannya ke kepala Ava. "Denger ya Ava. Dari ceritamu itu, saya malah merasa bangga sama anak saya. Kalo saya tau dia mengancammu seperti itu, harusnya saya bisa ikut bergabung. Karena apa? Mendapatkan tumbal itu susah! Sayang sekali saya tidak tau... Padahal, sepertinya seru jika harus bermain ancam-ancaman seperti itu. Jika kamu kalah, Oma dan temanmu yg jadi taruhannya. Hahahahhaha! Dapat dibayangkan reaksi mereka jika mati menjadi tumbal. Terutama Oma kamu yg cerewet itu! Anak saya sering mengeluh diomeli oleh dia! Kurang ajar! Harusnya saya jadikan dia tumbal pertama saya." Budi menyeringai.

A World Of Different DimensionsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang