🌅 7. Ibu Negara 🌌

80 71 23
                                    

Kalo ada typo minta tolong ingetin yaw. Maaciwww...

Happy reading kawaaan

____________________________

Biarkan aku menjadi Fatimah
Yang mencintaimu dalam diam
Jangan tuntut aku menjadi Khadijah
Karena aku tahu, kau bukanlah Muhammad
Yang sanggup menerima semua kekuranganku.

-Laila Safitri

***

"Buruan Laila!" Laila dengan sigap memakaikan sepasang kaos kaki di kaki Mia. Hatinya meringis menerima bullyan dari teman sebayanya itu. Ingin rasanya Laila memberontak, tapi ia tahan sekuat tenaga karena ia memikirkan kedepannya. Jika ia memberontak mungkin pembullyan yang diberikan padanya akan bertambah sadis karena saking sewotnya si Mia.

Entah apa alasan yang mendasari Mia melakukan pembullyan demi pembullyan, Laila tak mengerti. Bahkan dengan perasaan tega Mia pernah membuang bahkan menggunting-gunting kerudung berharga milik Laila. Tidak hanya itu, bahkan Mia pernah memberi Laila minuman yang sudah dicampur dengan darah hewan.

Laila tak pernah berpikir untuk membalas kejahatan demi kejahatan yang Mia lakukan. Dia hanya berharap, semoga pengasuh yang ditugaskan mengatur santri-santri di asrama segera sembuh dari penyakitnya dan segera kembali ke asrama. Laila berharap kembalinya pengasuh ke asrama mendatangkan kabar baik berupa berakhirnya pembullyan yang dilakukan Mia. Meski Laila tak tahu seperti apa tipikal pengasuhnya karena dari awal dia menginjakkan kaki di asrama, dia tidak pernah sekalipun melihat pengasuh asrama ini. Tapi dia yakin sekaligus berharap semoga pengasuhnya tidak sejahat seperti di novel-novel yang dia baca.

"Ambilin bekal Gue La!" Terdengar suara dari dalam asrama. Mendengar namanya dipanggil. Laila langsung berdiri hendak memenuhi panggilan.

"Eh eh eh. Mau kemana Lo! Pakein sepatu Gue dulu!" Bentakan sekaligus titah Mia menghentikan tubuh Laila yang hampir sempurna berdiri tegak.

"Tapi Laila dipanggil sama mbak Najwa. Laila juga belum mandi. Ini udah jam setengah tujuh, nanti Laila telat. Mia bisa pake sepatu sendiri kan?" jawab Laila sesekali melihat jam kenangan dari almarhum ayahnya di pergelangan tangan.

"Emang Gue peduli heh?! Udah cepetan jangan kebanyakan omong Lo!"

"Iya." Laila tak bisa apa-apa. Dia hanya bisa mengindahkan titah Mia. Hatinya benar-benar menangisi ironi kehidupannya. Namun Laila tak bisa apa-apa.

06.35

Setelah punggung Mia hilang dari pandangannya. Laila langsung berlari masuk asrama. Dia pontang panting menyiapkan bekal untuk Najwa dan dirinya. Diletakkannya bekal Najwa dan bekalnya di meja lalu dia berlari menuju kamar untuk bersiap.

Nafasnya tersengal. Jam di tangannya sudah menunjukkan pukul 6.45. Hatinya gusar. Tak ada lagi waktu untuk sarapan. Laila berlari sekencang mungkin menuju halte. Dalam hatinya dia berdoa semoga Tuhan memberinya keajaiban, entah manipulasi waktu atau terserah yang penting Laila bisa sampai di sekolahnya tanpa ada hukuman yang bisa membuat nama baiknya tercoreng.

Sesampainya di halte Laila ngos-ngosan. Diedarkannya seluruh pandangan ke ruas-ruas jalan mencari angkutan. Tapi nihil! Hatinya meringis. Laila tidak melihat satupun angkutan atau taksi. Ingin sekali Laila menangis saat itu juga.

"Kalo lari Lo gak bakalan sanggup, meskipun dipaksa. Dan kalo pun nunggu angkot atau taksi, tetep aja waktu Lo bakal kesita banyak. Bisa-bisa Lo dihukum lari keliling lapangan sepuluh kali"

Laila terperanjat. Kedatangan Senja kali ini, entah mau menolongnya atau justru menjebaknya, Laila tak tahu. Tetapi entah dari mana dan mengapa senyum Laila mengambang ketika dilihatnya Senja yang menyodorkan helm di tangannya. Dia terlihat sangat keren duduk di motor hitamnya. Senja yang sekarang sangat berbeda jauh dengan Senja yang dulu dia kenal.

Delusi Dalam Elegi [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang