🌅 24. Fakta 🌌

37 19 7
                                    

Happy reading gaes

_______________________

"Laila kangen ibu," rintihnya di sela-sela kenangan yang berputar.

****

"PUAS LO HAH?!" bentak Jingga pada Mia.

Hari ini Jingga sengaja menemui Mia di markas yang dahulu digunakan untuk menyusun suatu rencana. Jingga sudah tidak tahan lagi akan hal ini.

"Santai dikit dong!" tegas Mia. Apa-apaan ini. Jingga tiba-tiba datang ke markasnya dan melabrak Mia.

"Mau apa Lo kesini hah?!" tanya Mia. Nada bicaranya pun tak kalah tinggi.

"LO ITU BUSUK MI! BUSUK!"

"LO SENGAJA KAN MANFAATIN PENDERITAAN GUE?! LO SENGAJA IMING-IMINGIN GUE DENGAN CARA JANJI MAU BAYARIN BIAYA BEROBAT NYOKAP GUE TAPI TERNYATA LO NYOLONG DUIT ASRAMA! IYA KAN MI?! TAU GITU MENDING DULU GUE PINJEM SENDIRI KE BENDAHARANYA LANGSUNG MII!!" papar Jingga. Entah setan dari mana yang berhasil merasuki dirinya. Yang pasti, Jingga benar-benar menyesal kerjasama dengan Mia untuk membunuh ibu dari sahabatnya sendiri.

"Ckckck. Ya itu salah Lo sendiri bego!" jawab Mia santai diiringi kekehan kecil.

"Gue gak mau tahu Mi. Pokoknya abis ini Gue bakal laporin semua ini ke polisi!" tegas Jingga. Mata Mia membulat sempurna sebelum akirnya Mia tertawa.

"Pftt .... Hahahaha, Lo mau laporin Gue ke polisi hah?! Serah Lo deh Ngga. Asal Lo tahu, kalo Lo laporin ke polisi, Lo juga bakalan ikut dipenjara karena Lo pelaku pembunuh itu! Hahaha." Tawa Mia pecah, entahlah sebenarnya apa yang sedang dia rasakan saat ini.

"LO BANG-"

Kriiiiiiiiingg

Belum sempat Jingga menuntaskan umpatannya, gawai yang ada di sakunya berbunyi sangat nyaring menandakan ada panggilan masuk. Dengan cekatan, Jingga segera mengangkat panggilan.

"Halo?" ucap Jingga.

"Halo selamat sore. Apakah benar ini dengan saudara Jingga?" tanya seseorang di seberang.

"Benar dengan saya sendiri. Ada apa ya?" tanya Jingga memastikan. Pasalnya nomor ini tidak terdaftar di kontaknya, pun bahasa yang digunakan teramat formal.

"Saya dari pihak rumah sakit, ingin menginformasikan bahwa ...,"

"Apa?!"

****

Laila melangkahkan kakinya gontai menuju terminal. Lemas menjalar ke seluruh tubuh Laila. Pikirannya berkecamuk. Fakta yang dijabarkan oleh ayah Mia telah merenggut energinya. Mana mungkin? Laila harap semua ini hanya fatamorgana saja.

Setelah berhasil menaiki bus rute Pekalongan-Pemalang, Laila duduk di bangku nomor dua dari belakang. Dia duduk bersama seorang ibu yang menggendong anaknya.

Terlihat sang ibu sangat menyayangi anaknya. Tanpa sadar, bulir bening berhasil meluncur dari sudut mata Laila. Entah sudah berapa laksa air mata yang berhasil Laila tumpahkan. Semua itu tak sepadan dengan hatinya yang sudah terkoyak menerima fakta demi fakta kehidupan dan takdirnya.

Laila mengalihkan pandangannya menuju jendela. Dia tidak ingin ketahuan menangis oleh ibu-ibu di sebelahnya. Jalanan yang ramai dan dipenuhi asap-asap kendaraan. Dibandingkan dengan langit cerah di atas telampau kontras jika dipadukan.

Setelah keluar dari jalan kota, bus yang Laila tumpangi kini berjalan diantara persawahan. Keadaan sekitar yang awalnya penuh polusi, kini beralih menjadi sejuk dan damai. Tapi naas, kedamaian dan ketentraman suasana persawahan tak sedikitpun mengubah perasaan sendu Laila. Hatinya masih saja dipenuhi ketidakpercayaan akan semua fakta yang baru saja ia terima.

Delusi Dalam Elegi [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang