Ternyata Kamu

617 103 78
                                    

Seorang gadis duduk dan menatap laptop yang ada di depannya sekarang sambil sesekali melihat jam dinding di atas papan tulis. Untuk memastikan pada pukul berapa kelas akan mulai ramai. Helaan napas keluar bersamaan punggung ramping itu menyandar ke kursi dengan tangan berjari mungil dan lentik yang mengangkat semua helai rambut panjang gelombang hingga leher putih di sana terlihat jelas.

Suara langkah mendekat membuat gadis itu melirik ke pintu yang berada ujung kiri ruangan, mata tajam seperti rubah itu memicing, mencoba fokus untuk melihat sosok tinggi putih berambut hitam dengan jaket denim di sana. Dia meniup udara ke atas, membuat poni tipis yang rapi menjadi sedikit berantakan, kemudian memajukan bibir merah muda berpoles pengkilapnya usai berdecih.

Kembali gadis itu melirik ke arah orang yang baru datang, pemuda berpipi gembil dengan tulang rahang yang samar-samar terlihat. Dia tepat duduk dua bangku dari si pemilik rambut gelombang, sangat dekat dengan pintu kelas.

“Selalu terlihat serius kalo sendiri,” gumam si cantik sambil menggeleng pelan.

Selang beberapa detik, seorang mahasiwa lain datang, mendekati meja pemuda berwajah serius. Dia menarik kursi di meja dosen untuk bisa berbincang dengan si pemilik rambut hitam.

“Sagara,” sapa pemuda bertubuh gendut dan menumpang dagu di dekat meja yang dipanggil.

Seolah tidak ingin menyahut, Sagara hanya diam. Dia cuma mengalihkan pandangan dari buku dan menatap sang pemanggil dengan tersenyum tipis, bahkan bisa dilihat lubang kecil pada kedua pipi putih pucat itu.

“Jadi gini, minggu depan, aku ada tugas gitu. Bikin program web yang udah bisa tampilin halaman edit, terus hapus juga—”

“Kamu mau minta aku yang buatin, Joan?” potong si lawan bicara cepat.

Sagara mengangguk dan semakin melebarkan senyum, membuat mata kecilnya hilang begitu saja ditelan pipi.

“Iya, bisa, ‘kan?” Joan meraih tangan Sagara, mengenggam erat sampai sang pemilik meringis pelan dan menarik paksa.

“Bisa, tapi enggak bisa secepatnya karena beberapa temen kelas lain udah minta aku buatin juga,” balas Sagara sambil memijat jari panjangnya.

“Enggak bisa gitu, dong! Aku perlunya cepat. Meski dikumpul minggu depan, tapi aku mau tebar pesona sama Siska, mau coba ajarin dia gitu.” Si pemuda bertubuh gemuk mencoba menarik kerah baju Sagara, membuat si pemilik refleks memegang leher cepat.

“Iy-iya, nanti aku buatin,” ucapnya sambil menggaruk ujung alis kiri.

“Nah, gitu, dong! Kita ini teman. Wajar kalo kamu bantuin—”

“Teman, tapi beban!”

Suara dari ujung kanan Sagara berhasil membuat pemuda itu dan Joan menatap sang pemotong ucapan.

“Oi, Seana! Enggak sopan banget nyela omongan orang,” komentar Joan lalu berdiri.

Si pemilik nama menoleh, mengangkat dagu sedikit, seolah bertanya ada apa kepada orang yang menyebutkan namanya. Dia membuka mulut lebar, mengangguk pelan, kemudian menunjuk benda yang ada di telinga kanan.

“Aku telponan sama teman, maaf kalo agak ribut,” ujarnya dengan agak berbisik, meletakkan sebelah tangan di sisi wajah cantik itu.

Joan berkedip beberapa kali, mengulum bibir sambil membuka kepalan tangan yang sempat mengeras akibat ucapan Seana sebelumnya. Dia kembali menatap Sagara, tersenyum lebar, kemudian pergi setelah mengucapkan terima kasih.

Sagara menutup mata erat bersamaan dengan udara yang lebih banyak keluar dari hidung mancung itu. Dia memijat pelan kening, kemudian membuka buku bersampul kulit hitam di atas meja dan menulis beberapa huruf.

Sagara tersentak, mendapat sebuah permen berbungkus merah muda di sebelah buku beriringan dengan tangan lentik yang ada di sisi kanannya kini. Dia menengadah, menatap Seana dari bawah dan langsung menggeser bokong agak menjauh.

“Kenapa kasi ini?” tanyanya dengan sedikit menaikkan alis.

“Ini hari yang cerah. Awali dengan permen stroberi yang manis bukan sama temen yang bau amis, seperti Joan,” ujar Seana lalu berjalan menjauh.

Gadis itu berhenti tepat di ambang pintu, berbalik dan menatap netra yang tengah fokus padanya. “Kamu tau, Sagara? Bilang ‘enggak’ bukan berarti dunia bakal kiamat,” ujar Seana dan pergi ke luar begitu saja.

***

Suasana toko buku yang ramai pada akhir pekan, berhasil membuat tubuh mungil Seana terombang-ambing seperti perahu terkena ombak kencang. Dia berusaha keras memeluk novel romansa bersampul kuning dengan cokelat ikut bercampur sebagai judulnya, takut jika benda itu terjatuh lalu hilang entah ke mana.

Seana tersenyum lebar ketika petugas berhasil mengamankan para pengunjung, membuat barisan agar bisa mendapatkan tanda tangan dari seorang penulis muda yang selama ini menutupi identitas pribadinya.

Hari ini, Seana sudah bertekad akan mendapatkan tanda tangan tersebut bagaimanapun caranya untuk sang sahabat. Hadiah ulang tahun yang paling berkesan, begitulah dia menamai petualangannya di toko buku pada pusat kota itu.

“Selanjutnya!”

Mendengar petugas yang berada di sebelah tempat duduk  pemuda membuat Seana melajukan tungkai. Dia meletakkan novel yang dibawa ke atas meja panjang bertaplak biru tua di hadapan sang pengarang, kemudian duduk di bangku sambil menatap topeng kelinci yang dikenakan orang di depannya kini.

Penulis yang aneh. Kenapa Banyu suka banget sama karya dia, ya? batin Seana sambil menggerakkan jari di atas meja.

“Dengan nama siapa?” tanya sang pengarang yang berhasil membuat mata Seana membuka lebih lebar.

“Banyu sahabatnya Seana,” jawab si pemilik rambut gelombang antusias, bahkan sampai memajukan tubuh dengan siku menumpu meja.

Mendengar gumaman sang lawan bicara, Seana mengangguk pelan, kemudian berdiri dan berlalu seusai mendapat buku yang dibawa sudah bertanda tangan sekarang. Dia tersenyum lebar, membuat pipi berpoles blush-on merah muda itu semakin manis, memikirkan beberapa hal menarik yang bisa dilakukan sebelum toko tutup setengah jam lagi.

Namun, baru beberapa langkah menjauh dari tempat sang pengarang berada, Seana meringis, merasa sesuatu bergerak hebat dalam perut hingga anus.

“Sial! Lain kali aku enggak akan mau makan mi pedas lagi,” gumamnya lalu langsung berlari menuju belakang tempat itu.

Toko buku yang tidak begitu besar, membuat Seana dengan mudah menemukan toilet. Mata tajam bernetra hitam itu berbinar, tepat ketika pintu yang dicari terlihat setelah melewati beberapa rak dan pelanggan. Meski dia terpaksa masuk ke toilet pria, mengingat untuk yang gender satunya tengah dalam perbaikan.

Enggak apa, yang penting bisa buang hajat, pikir Seana.

Ketika tiba di dalam, Seana langsung memilih kloset yang bersih, masuk ke sana dan duduk sambil memeluk buku  serta ransel kecil yang sejak tadi dibawanya. Sesekali netra si cantik tertutup, bersamaan suara nyaring yang keluar dari pencernaan.

Setelah hampir dua puluh menit, Seana pun selesai dengan pembuangan sampah dalam perut ratanya. Dia bergerak santai, mengenakan ransel lalu membuka pintu sambil bersenandung. Namun, belum sampai selangkah kaki pendek itu keluar dari bilik di sana, mata si cantik sudah lebih dulu membulat karena mendapati seorang pemuda tengah berdiri membelakanginya.

Namun, bukan punggung tegap berpakaian kemeja biru muda itu yang mengejutkan Seana, tetapi baju sekaligus topeng yang dipegang si pendatang berhasil membuatnya menutup mulut sebentar dengan novel dalam genggaman.

“Sagara,” panggilnya dan membuat yang tengah becermin berbalik.

Mata si pemilik nama membesar hingga tangan spontan mengepal dan melempar apa yang dipegang. Dia hendak berlari pergi, tetapi jemari mungil Seana lebih dulu menahannya.

“Sagara … ternyata kamu Mas Laut Biru si penulis itu?”

.
.
.
.
Hai hai ini chapter satunya, aku harap kalian akan betah di kisah ini dan menantikan updatenya yaaak 😗♥️♥️

Ineffable [Terbit✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang