Janji Seana

75 24 22
                                    

Seana mengayunkan kaki di tepi ranjang sambil memainkan ponsel, sesekali bersenandung mengikuti lagu yang diputar dari laptop yang ada di meja belajar. Dia menggulingkan tubuh, mengubah posisi jadi telungkup, lalu kembali terlentang.

Saat terdengar ketukan pintu, Seana segera bangun, melempar ponsel ke kasur, lalu berjalan ke sumber suara. Dia melambaikan tangan ketika melihat sosok yang datang, menarik pintu lebih ke dalam untuk mempersilahkan sang kakak.

"Ada apa, Kak?" tanya Seana usai menutup pintu lagi.

"Cuma mau lihat kamu lebih lama aja." Kana menjawab sambil menepuk sisi kirinya, tepat di tepi ranjang Seana.

Sang adik berjalan mendekat, duduk di sebelah Kana dengan mengangkat sebelah kaki ke kasur. Seana menghadap ke sang kakak, memegang jari tangan lentik itu, kemudian tersenyum tipis.

"Jangan khawatir tentang apa pun, Kak," ucap Seana sambil mengelus pelan punggung tangan Kana.

Kana menatap wajah Seana dalam diam, memperhatikan setiap inci paras cantik sang adik. Dimulai dari mata yang tajam, tetapi teduh pada waktu yang sama, hidung kecil yang mancung, sampai bibir mungil merah muda yang selalu mengulas senyum tanpa mengeluh mengenai apa pun sejak dulu. Dia mulai mengangkat tangan, melepaskan dari genggaman Seana, lalu beralih meraba sisi wajah sang adik, mengusap lembut, kemudian mengembuskan napas panjang sambil tertunduk.

"Kak, semua akan baik-baik aja. Ayah selalu bilang gitu," ujar Seana, lalu meraih tangan sang kakak yang ada di sisi wajahnya.

"Enggak, Seana ... enggak ada yang akan baik-baik aja. Kamu juga tahu kalo itu bohong, 'kan?" gumam Kana yang masih bisa didengar Seana.

Kana kembali mengangkat wajah, memandang sang adik dengan mata yang sudah berlinang. Jika sekali saja sosok itu berkedip, maka bulir bening akan turun dari netra indahnya. "Kamu tahu, tapi pura-pura enggak tahu, 'kan?"

Seana menarik sudut bibir ke atas, menyentuh wajah Kana, kemudian mengusap air yang sudah turun bersamaan dengan kalimat beberapa detik lalu. Dia menggeser bokong semakin ke depan, menarik tubuh sang kakak dalam pelukan, dan meletakkan dagu ke bahu ramping Kana.

"Semua akan baik-baik aja, Kak. Apa pun yang dokter bilang tentang penyakit ini, itu enggak benar. Masih ada peluang sembuh, aku percaya itu," ujar Seana sambil mengelus punggung si lawan bicara.

Sambil meremas pakaian yang Seana kenakan, Kana terus menangis hingga membasahi baju sang adik. "Dokter bilang, enggak bisa, Seana ... apa yang harus aku lakuin buat kamu sekarang? Penyakit itu terlalu lama kita sadari! Enggak bisa sembuh, Seana."

"Enggak ada yang perlu Kakak lakuin, Kak. Semuanya akan baik-baik aja. Aku janji," jawab Seana kemudian melepaskan pelukan.

"Berjanji enggak akan merubah apa pun, Seana," balas Kana sambil mengelap pipi dengan lengan baju piayamanya.

"Tapi, enggak ada kata yang cocok selain janji untuk buat orang lain merasa semua akan baik-baik aja, Kak." Seana memegang tangan sang lawan bicara, meremas erat, tetapi masih terasa begitu hangat bagi Kana. "Kakak percaya kalo aku kuat, 'kan? Leukemia enggak akan berdampak banyak untuk tubuh kecil ini," tambah Seana, lalu tertawa keras.

Kana menatap sang adik, membalas genggaman itu, tetapi tidak bisa melakukan apa yang Seana sekarang perbuat. Tertawa? Tidak! Dia bahkan tidak mampu tersenyum.

"Kana, aku lihat Seana beberapa minggu lalu ke rumah sakit. Dia kelihatan sehat, tapi kamu tahu sendiri bagaimana kondisinya, 'kan? Tolong segera kabari aku kalo ada apa-apa, Kana. Seana bisa mengambil kemoterapi jika dia mau. Aku udah tawarin dia juga, tapi dia menolak, Kana. Aku harap kamu mau bujuk dia meski pengobatan ini ada beberapa efek samping. Penyakit Seana itu leukemia mieloid akut, terjadinya proses produksi sel darah putih yang belum matang terlalu banyak dari sumsum tulang belakang. Itu bisa saja sembuh, tetapi karena telat disadari gejalanya, ini jadi sulit untuk diobati, atau bahkan sama sekali enggak bisa. Udah stadium empat, Kana. Kita benar-benar terlambat sadar tentang penyakit Seana ini."

Itulah yang dikatakan sang teman masa sekolah Kana ketika tidak sengaja bertemu di kafe tempatnya bekerja paruh waktu tadi sore. Dokter yang Seana temui ketika menjemput Sagara tidak hanya sekadar kenalan sang kakak, tetapi juga merupakan orang yang bertugas untuk membantu menyembuhkan gadis itu dari penyakitnya.

Kana menggigit bibir kuat, dalam pikiran benar-benar sangat kacau sekarang. Banyak kata-kata yang berulang di dalam otak gadis itu. Jika saja dulu ketika Seana mengeluh tentang benjolan di lehernya Kana langsung sadar, andai ketika Seana terbaring tidak sadarkan diri karena terlalu lelah membantunya mencuci di akhir pekan, dia langsung membawa sang adik ke rumah sakit. Andai saja dia lebih cepat sadar, pasti ini semua tidak terjadi.

Setelah menunduk, Kana kembali menangis, bahu rampingnya naik dan turun, bersamaan rintihan yang terdengar. "Maafin aku, Seana. Maaf ...," lirih gadis itu dalam pilu.

Seana menggeleng. "Enggak perlu minta maaf, Kak," sahutnya dengan terus menatap sendu sang kakak.

***
Banyu tersenyum lebar sambil menata makanan di tikar anyaman yang sengaja dibuka pada tepi pantai. Dia menyusun buah potong, berupa stroberi, pisang, melon, apel di dalam satu wadah, lalu meletakkan sebotol jus jeruk di sebelah piring. Pemuda itu terus mengulas senyum, bahkan binar di netranya tidak kunjung hilang.

Ketika mendengar suara langkah mendekat, Banyu mengangkat pandangan dari tempatnya duduk, mendapati Seana tengah tersenyum dan melambaikan tangan. Dia menggeser bokong, membiarkan Seana duduk di sisi kirinya.

"Udah lama?" tanya Seana yang dijawab gelengan oleh Banyu.

"Aku bawa sesuatu buat kamu." Seana berhasil mengalihkan atensi si lawan bicara dari langit jingga yang cantik. Dia merogoh tas jinjing yang dibawa, mengeluarkan sebuah kotak kecil, kemudian membuka dan memperlihatkannya kepada Banyu.

"Jam tangan itu buat aku?" tanya Banyu yang dijawab anggukan oleh Seana.

Terlihat mata Banyu lebih berbinar dari sebelumnya, seperti anak anjing menemukan tulang raksasa. Dia membuka mulut lebar, seolah-olah mengagumi kado yang diberikan Seana. Jam tangan bundar warna hitam, tampak sangat sederhana, tetapi ketika sudah Banyu kenakan, benda itu terkesan mewah.

"Terima kasih, Seana," ucap Banyu sambil tersenyum dan mengelus puncak kepala sang sahabat.

"Itu kado terakhir dari aku, Banyu."

Perkataan itu melunturkan senyum indah Banyu, berganti dengan bungkam, kemudian mata yang terlihat memerah. "Apa maksud kamu, Seana?" tanyanya seraya menurunkan tangan perlahan.

"Aku mau menjalani pengobatan yang lebih serius, Banyu. Dokter saranin untuk kemoterapi beberapa hari lalu dan aku setujui itu. Setelahnya, aku akan selalu di rumah sakit untuk memudahkan perawatan dan mutusin enggak kuliah lagi." Seana menjelaskan semua seperti tanpa ada beban sama sekali.

Banyu mengerutkan bibir, memperhatikan setiap inci wajah Seana yang sekarang jarang diamatinya lagi. Tampak paras itu pucat, bahkan terlihat lebih tirus. Dia mengepalkan di atas dengkul yang dilipat menjadi posisi bersila beberapa waktu lalu.

"Kamu akan sembuh, 'kan?" tanya Banyu lalu menggigit bibir.

"Entah, aku enggak tahu, Banyu. Haruskah aku berjanji untuk itu?" Seana tertawa kecil sambil menatap pemandangan di depannya.

"Gimana dengan Sagara? Apa dia tahu ini? Apa aku harus kasih tahu dia, Seana?"

Pertanyaan tersebut membuat Seana menegang, menoleh kiri, menatap Banyu dengan tatapan membola, lalu menggeleng pelan. "Jangan, Banyu! Dia enggak perlu tahu ini."

"Jangan egois, Seana. Dia orang yang paling ingin kamu dekati setelah tahu tentang kondisi kamu, 'kan? Kamu datang ke kehidupan dia dengan misi merubah sikapnya yang penurut itu. Kamu selalu cerita tentang semua perkembangan kamu sama dia ke aku, Seana. Sekarang, tiba-tiba kamu mau menghilang gitu aja. Pasti Sagara bakal sedih, Seana," ucap Banyu dengan menatap tajam si lawan bicara.

"Enggak, Banyu. Dia enggak perlu tahu ini. Berjanjilah untuk enggak akan kasih tahu kondisi aku sekarang ke dia." Seana menunduk, lalu mengudarakan kelingking kanannya.

Banyu mengembuskan napas kasar, mengeluarkan kegelisahan sampai bahu ikut naik lalu turun. Dia mengikat jari Seana dengan kelingking miliknya, kemudian berkata, "Aku janji untuk saat ini, Seana. Enggak tahu nanti."

.
.
Hai semuanya!! Sekarang udh tahu kan, apa yang diderita Seana 😗
.
Mari menebak girang, kira kira bakal ending yg bagaimana ini? 🤣
.
.




Ineffable [Terbit✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang