Sagara terus mengulas senyum sepanjang perjalanan menuju rumah sakit. Hari ini, Seana berulang tahun, tepat setelah tiga hari pemuda itu bertemu lagi dengan sosok yang berhasil membuatnya merasakan rindu yang teramat selama beberapa pekan berlalu. Terlihat sebuket bunga lili putih di jok sebelah Sagara, bersandingan dengan sebuah paper bag berisikan beberapa cup plastik buah stroberi.
Suara notifikasi dari saku membuat pandangan Sagara yang semula ke jendela segera teralihkan. Dia meraih benda pipih pintar itu, kembali menarik sudut bibir ketika menatap foto cantik Seana yang sedang memakan es krim mengisi layar ponsel.
Setelah membaca pesan yang baru saja masuk, Sagara sedikit mengernyit, mendapati sebuah foto dari Seana yang sekarang semakin memangkas rambut menjadi lebih pendek. Beberapa detik kemudian, sebuah pesan lain masuk, mengubah kerutan di dahi pemuda itu menjadi netral lagi, bersamaan dengan senyum yang mengembang indah sampai lubang kecil si pipi terlihat.
Aku potong rambut sampai pendek kayak kamu, tetap cantik 'kan? Lagi pula kalo pendek gini kita jadi mirip. Kata orang jaman dulu, kalo mirip artinya jodoh.
Beberapa emoji hati merah terang kembali didapati Sagara, berhasil membuat kakinya bergerak naik turun secara bersamaan, beriringan dengan suara teriakan yang tertahan. Dia mengulum senyum, lalu terkikik sesekali seraya mulai mengetik pesan balasan.
"Kamu tetap cantik pakai gaya rambut apa pun," gumamnya, kemudian mengirim pesan itu dan sebuah stiker beruang putih dengan gerakan tangan yang membentuk hati merah muda yang besar.
Sementara itu di rumah sakit, ruang rawat Seana. Tampak Banyu dan Amanda sibuk memasang balon di dinding beserta kertas pita warna biru dan putih. Mereka berusaha keras untuk mendekor ruangan agar menjadi secantik mungkin setelah meminta ijin dokter yang selalu ke sana dengan susah payah semalam.
Amanda mengambil balon biru yang ada di nakas, meniup kuat sampai pipi ikut menggembung, tampak menggemaskan sampai Banyu tertawa sambil menekan sisi wajah gadis itu dengan telunjuk.
"Banyu, jangan ganggu dulu, nanti enggak bisa ditiup ini!" larang Amanda, lalu berlari kecil menuju jendela, tidak mau berdekatan oleh si pengacau yang bisa menggagalkan aksi menghiasnya.
Sambil terkekeh, Banyu mengangkat kedua tangan, memutuskan untuk menyerah mengusik si teman kampusnya itu. Dia memilih mengambil kertas pita di ranjang, kemudian menggunting benda tersebut menjadi lebih pendek.
Saat melihat Amanda ingin meniup balon yang lain, Banyu menatap gunting yang dipegang. Pemuda itu tersenyum jahil, lalu berlari ke arah gadis yang sejak tadi diawasinya, lantas menekan benda yang diisi angin oleh Amanda dengan alat pemotong di tangan.
Suara ledakan balon membuat Amanda termenung, diam dengan pose tangan seperti memegang benda yang sempat disentuhnya. Dia menatap Banyu yang tergelak hebat, bahkan sampai mengusap ujung mata dengan telunjuk sebab perut merasa sangat tergelitik.
Banyu menatap Amanda yang masih bergeming, terlihat netra di balik kacamata itu berlinang. Pemuda berambut cokelat gelap berhenti dari tawanya, menelan ludah berat, lalu meringis pelan. Dia maju beberapa langkah, mendekati Amanda, kemudian memegang sebelah tangan ramping tersebut.
"Ma-maaf, Amanda, aku enggak tahu kalo kamu setakut itu sama balon ...," lirih Banyu dengan mengelus pelan punggung tangan kiri yang digenggam.
Amanda menarik cairan di hidung, melengkungkan bibir ke bawah sambil berkedip beberapa kali, membuat air yang dibendung keluar begitu saja. Namun, meski menangis seperti itu, dia tidak mengeluarkan suara sama sekali, memilih untuk bungkam dan mengelus pipi dengan tangan yang tidak digenggam oleh Banyu.
"Aku langsung sadar waktu balonnya meledak, Banyu ...," lirih Amanda cukup pelan.
"Sadar apa?" Banyu mengernyit, membantu mengelap pipi si lawan bicara yang satunya usai melepaskan genggaman di jemari Amanda.
"Sadar kalo Seana masih belum sembuh, bahkan seperti yang kamu bilang, kemungkinan dia untuk bisa hidup enggak lebih dari lima puluh persen." Amanda menutup netra ketika telunjuk si lawan bicara menjelajah sampai ke kelopak matanya.
Setelah menjauhkan tangan dari Amanda, Banyu menarik napas dalam, berusaha tenang meski semua itu sia-sia. "Leukimia yang dideritanya terlalu parah untuk sembuh meski udah kemoterapi. Dia bahkan potong rambutnya lagi hari ini di taman belakang gedung sama Kak Kana, dia bilang, takut buat Sagara khawatir dan curiga kalo rambutnya terus rontok. Seana sadar kalo peluangnya untuk hidup cukup kecil, tapi dia sama sekali enggak pernah kelihatan mengeluh, apalagi sedih. Karena itu, kita juga enggak boleh sedih di depan dia, Amanda. Kita harus kuat supaya Seana enggak lemah karena penyakitnya," jelasnya seraya memegang bahu si lawan bicara dengan menggosok pelan.
Amanda mengangguk seraya mengulum bibir. Dia tersenyum, lantas berkata, "Kamu benar, kita harus kuat, Banyu." Gadis itu menepuk punggung tangan sang teman kampus, seolah-olah menyalurkan energi positif untuk saling menguatkan.
***
Setelah acara ulang tahun Seana selesai, Sagara duduk di sebelah gadis itu sambil menatap ke luar jendela besar yang tertutup rapat. Mereka hanya berdua sekarang, Banyu dan Amanda sudah pulang, sedangkan Kana ingin memberikan waktu lebih banyak kepada si pemuda ber-dimple agar bersama sang adik, tentu saja atas saran dari sahabat masa kecil Seana.Sagara memegang tangan kanan Seana dengan erat selagi gadis itu meletakkan kepala ke bahunya. Dia mengelus perlahan jemari Seana, kemudian meletakkan sisi wajah ke atas puncak surai sang pujaan hati.
"Seana, jangan pergi ...," lirih Sagara pelan, tetapi masih bisa didengar oleh orang yang diajaknya bicara.
Suara gelak tawa terdengar dari Seana. Dia terkikik sambil menutup mulut yang tangan yang diinfus. "Kenapa tiba-tiba bilang itu? Aku enggak ke mana-mana, Sagara. Beberapa hari lagi pasti sembuh, kok," ucapnya berusaha tenang, tetapi memegang tangan sang kekasih dengan lebih erat lagi.
"Aku tahu semuanya, Seana. Bukan tifus, tapi leukimia, 'kan?" Sagara mengepalkan tangan yang bebas di atas paha, kemudian menjauhkan kepala, membiarkan Seana untuk menatapnya sekarang.
"Kamu tahu dari—"
"Tadi, sebelum aku masuk ke ruang rawat kamu, aku sempat dengar apa yang dibicarain sama Amanda dan Banyu. Ternyata, semua orang tahu tentang itu, kecuali aku," ucap Sagara dan melepaskan genggaman di tangan Seana.
Netra tajam Seana membola, mengarah ke Sagara yang terlihat sangat marah dengan rahang yang mengeras. "Sagara, aku bisa jelasin ...," lirihnya pelan.
Sagara melempar pandangan ke arah lain, menarik napas, kemudian berusaha untuk melihat sosok cantik yang sekarang ada di sisi kirinya. Dia menggigit bibir bawah, mengangkat kedua tangan yang bergetar hebat untuk bisa menyentuh wajah Seana.
"Apa yang harus aku lakuin, Seana?" tanya Sagara lantas mendekatkan dahinya dengan milik si gadis pecinta stroberi.
"Maafin aku, Sagara. Maaf ... karena enggak pernah bilang ini ke kamu," ujar Seana sambil memegang kedua tangan yang ada di sisi paras pucatnya.
.
.
Halo semuanya!! Aku kembali lagi, nih! Jangan lupa untuk kasih krisar yaaaak. Ah, ya! Mohon bantuan untuk share cerita ini jika kalian memang suka UwU 😗❤️
.
.
Terima kasih sudah membaca, maaf jika masih ada kesalahan, calangeo gaes, tetap jaga kesehatan yaw

KAMU SEDANG MEMBACA
Ineffable [Terbit✓]
RomansaSagara, seorang mahasiswa semester lima jurusan teknik informatika. Dia memiliki otak yang cerdas dan termasuk pemuda yang tampan, bahkan kaya raya. Namun, di balik semua kesempurnaannya, dia seorang yang tidak mampu menolak pemintaan orang lain, te...