Terima Kasih, Sagara

93 24 18
                                    

Sagara berlari kecil menuruni tangga, berjalan menuju dapur, lalu tersenyum kecil mendapati sang nenek yang sibuk memasak makan malam. Dia mendekat ke sosok tua yang tengah mengaduk sayur sup di balik set dapur hitam itu. Pemuda tersebut pun mengambil sendok milik sang nenek.

"Oma duduk aja, biar Gara yang masak," ucap Sagara sambil menepuk pelan pundak sang lawan bicara.

Sang nenek beranjak dari sana, memilih duduk di kursi dekat meja makan yang berhadapan langsung dengan kompor beberapa meter. Dia menarik sudut bibir ke atas, memperhatikan Sagara yang tampak sudah sangat dewasa dengan kaus lengan panjang abu-abu dan celana ponggol yang dikenakan.

"Di mana Seana?" tanya nenek Sagara tanpa mengalihkan pandangan.

"Lagi ganti baju, udah Gara letakkin celana ganti dan sekaligus dalaman yang baru dibeli di minimarket depan gang tepat di depan pintu kamar mandi." Sagara sibuk mencicipi kuah sup, menambahkan garam, lalu kembali mengaduk.

"Ini agak pedas, Oma," ujarnya lagi, kemudian menatap sang nenek.

"Perasaan tadi enggak pedas, kok," balas sang nenek singkat.

Sagara memajukan bibir, lalu menambahkan gula ke dalam masakannya. Dia mencoba lagi rasa dari sup, kemudian tersenyum tipis. "Kalo kayak gini Seana bisa makan. Lagi sakit perut enggak boleh makan yang pedas, 'kan?" gumamnya kecil.

Setelah selesai memasak, Sagara mematikan kompor, mengalihkan atensi pada buah apel dan melon yang ada di meja, berinisiatif untuk mengupas, kemudian membelah kecil-kecil agar dihidangkan sebagai makanan penutup.

Usai membersihkan semua yang kotor di dapur, Sagara meletakkan semua hidangan yang dibuat ke atas meja makan. Dia duduk di sebelah sang nenek, lalu memeluk sosok itu sambil menyandarkan kepala ke bahu renta tersebut.

"Gara rindu, Oma," ucapnya lirih.

Sang nenek tertawa pelan, mengusap punggung Sagara, tetapi berhenti ketika mendengar sang cucu meringis pelan. Dia melepaskan dekapan hangat itu, menatap wajah orang di hadapannya sekarang dengan alis bertautan.

"Aditya pukul kamu lagi, Gara?" tanya nenek Sagara yang dijawab anggukan oleh si lawan bicara.

Helaan napas terdengar dari sosok tua itu. Dia mengelus wajah tampan sang cucu dengan rasa khawatir. "Dia mirip dengan almarhum opa kamu, Gara," ujarnya, lalu menjauhkan tangan, beralih menggenggam jemari Sagara yang berada di lutut.

"Opa juga seperti ayah?" Sagara membalas genggaman, kemudian mengelus perlahan kulit keriput sang nenek.

"Hm, sama, Gara. Ketika ayah kamu masih SMA, dia sangat suka menulis. Aditya punya cita-cita menjadi penulis terkenal, tapi opa kamu menentang itu. Opa memaksa Aditya untuk mengurus perusahaan pengembangan aplikasi milik keluarga, karena ayah kamulah satu-satunya penerus." Sang nenek menarik napas dalam sejenak, memberi jeda pada kalimat penjelasannya tentang masa lalu itu.

"Tapi, ayah kamu menentang kehendak opa, memilih menjadi penulis sampai akhirnya benar-benar bisa menerbitkan satu buku, kemudian tidak sengaja bertemu dengan bunda kamu, Gara, seorang penggemar dari karyanya. Mereka menikah setelah beberapa bulan berkenalan, tentu saja oma dan opa merestui mereka, bunda kamu perempuan yang baik, lemah lembut, dan penyayang," tambah sang nenek, kemudian menunduk sebentar.

"Semua berjalan baik-baik aja, sampai akhirnya ada rumor tentang karya ayah kamu merupakan hasil plagiat, membuat buku terbitannya yang ketiga enggak ada yang beli. Dia terpuruk dalam waktu yang lama, bahkan sering bertengkar dengan bunda kamu hanya karena hal kecil."

Sagara menggigit bibir. "Karena masalah itu, Gara selalu dititipin ke oma waktu masih kecil, bahkan harus sekolah di sini?" tanya Sagara yang dijawab anggukan oleh sang nenek setelah mengangkat wajah lagi.

Ineffable [Terbit✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang