Itu Cuma Pura-pura, 'Kan?

97 32 29
                                    

Seana menutup mata dengan kepala bersandar ke kanan, di samping jendela bus berada. Dia sengaja mendorong sedikit kaca penghalang sehingga terbuka, membuat beberapa tetes air hujan mengenai paras cantiknya, kemudian tersenyum tipis, seolah-olah menikmati nuansa tenang sore menjelang malam itu. Gadis bernetra hitam mulai menghela napas berat, menghilangkan segala penat hari ini setelah bersandiwara membantu Sagara. Sosok tersebut membuka penglihatan lagi sebab teringat kata-kata Kaila di kafe sebelum pulang tadi.

"Terima kasih sudah menerima semua hal tentang Sagara, Seana."

Decihan keluar dari bibir mungil berpoles liptint merah muda itu. Seana kembali duduk tegak, melirik pemuda di sebelahnya yang diam dengan mata yang tampak sayu. Dia menarik jendela lagi, menutup agar tidak ada air hujan yang masuk, kemudian menggeser tubuh agar semakin ke kiri, mendekati tempat duduk Sagara.

Terlihat Seana meringis pelan ketika memerhatikan kepala Sagara yang mulai oleng dengan mata yang sudah tertutup. Dia memelotot ketika pemuda itu malah bersandar ke penumpang lain yang duduk di sisi kiri Sagara.

"Seharusnya ke pundak aku, kenapa malah ke sana?" gumam Seana sambil melirik wanita di sebelah Sagara.

Tatapan tajam terus dilayangkan Seana ke arah orang yang menjadi korban sandaran pemuda berlesung pipi. Dia mengerutkan bibir dalam, seperti bocah lima tahun yang mengajak teman seumuran bergelut.

"Dia punya saya, Buk ...," bisik Seana dengan kedua tangan di sisi wajahnya, kemudian menekan pipi Sagara pelan.

Wanita yang menjadi lawan bicara Seana tersenyum tipis. Dia berusaha mengangkat kepala Sagara agar menjauh, lalu membiarkan pemuda itu tidur di bahu mungil Seana.

"Maaf, Dek. Ini saya balikin punya kamu," ucapnya seraya melengkungkan ke atas lagi bibir ber-lipstik nude itu.

"Enggak apa-apa, Buk. Makasih, ya ...," balas Seana dengan menggeleng dua kali.

Kemudian, tidak ada percakapan yang berarti lagi di antara Seana dan wanita itu. Dia sibuk mengatur posisi duduk agar nyaman meski ada Sagara di bahunya. Gadis itu memilih bersandar, lalu memiringkan kepala hingga mengenai rambut si pemuda bersurai legam.

"Sagara, semua yang terjadi hari ini. Itu cuma pura-pura, 'kan? Tapi ... tapi, kenapa aku berharap supaya jam berputar lebih lambat sekarang?" Seana menghela napas dalam, kemudian terpejam pelan.

Sementara itu di tempat lain, terlihat seorang pemuda tengah berdiri di depan toko bunga, tampak baju pada bagian bahu basah, terkena hujan yang baru saja reda beberapa menit lalu. Dia melangkah masuk ke sana setelah membetulkan kemeja hitam yang dikenakan. Sesekali sosok itu menyisir rambut ke belakang sambil menyusuri tiap vas yang ada.

Ketika melihat bunga matahari, dia berhenti, memandang cukup lama tanaman terang itu lantas berujar kepada orang yang ada di balik meja kasir, tepat berada di sebelah kiri ujung toko.

"Saya mau yang ini beberapa tangkai, Mbak," ujarnya lantas berjalan mendekat ke kasir.

Setelah selesai dengan semua interaksi pembelian, pemuda itu pergi dari sana, berdiri di depan toko sambil memegang bunga matahari. Dia menatap genangan air di jalanan, memikirkan percakapan yang terjadi beberapa hari lalu.

Seana menatap tepat ke netra Banyu. Dia diam, menunggu reaksi si lawan bicara atas pertanyaan tentang sang kakak yang bertemu pemuda itu dan membicarakannya.

"Kak Kana bilang, aku harus tetap jagain kamu, Seana," ucap Banyu sambil meraih sebelah tangan Seana di tepi ranjang.

Meski sedikit tersentak dengan sentuhan yang Banyu berikan, Seana berusaha tetap tenang, mengembuskan napas dalam, lalu menarik tangan agar terlepas dari genggaman. Dia tersenyum tipis ketika menatap si sahabat lagi, kemudian berujar, "Banyu, Kak Kana kayak gitu karena terlalu khawatir. Kamu tahu sendiri aku gimana, 'kan?"

Banyu mengangguk sekali. "Aku tahu, Seana. Karena itu ... karena itu aku merasa harus jagain kamu terus."

Seana menggeleng pelan, lantas menyahut, "Enggak, Banyu. Kamu enggak perlu sampai kayak gitu. Kita sahabat, 'kan? Jadi, aku harap kamu mau dengar keputusan aku."

Usai kalimat itu, Seana berdiri di depan Banyu, kemudian mengulurkan kelingking kanannya. "Mari buat perjanjian sama aku, Banyu. Sampai kapan pun hubungan kita akan tetap seperti ini."

Banyu menengadah, menatap wajah Seana dari tempatnya sambil meremas sprei di sisi tubuh. Dia menggigit bibir bawah, bahkan menggertakkan gigi hingga rahang tampak bergetar pelan. Pemuda itu menutup netra, mengusap wajah kasar bersamaan udara yang keluar perlahan dari bibirnya.

"Oi, Seana, apa sama sekali enggak ada harapan buat aku?"

"Ha? Maksud kamu?" Seana mengernyit, lalu menurunkan kelingking perlahan.

"Apa enggak ada harapan buat hubungan kita lebih dari ini, Seana?" Banyu berdiri, memegang pundak mungil di hadapannya, lantas menunduk, menatap tepat ke netra legam di lawan bicara.

Tampak Seana mundur selangkah. Meski tidak melepaskan cengkeraman halus Banyu, dia juga tidak bereaksi apa pun selain membuang pandangan.

"Banyu, tolong jangan buat semua ini jadi rumit untuk aku," mohon Seana lirih.

"Kamu sadar sejak lama, 'kan, Seana?" Banyu memegang sisi wajah Seana, membuat gadis itu membalas tatapannya. "Kamu sadar tentang perasaanku, bahkan sebelum aku bilang secara serius ke kamu hari ini, 'kan?"

Seana menggigit bibir, memegang kedua tangan hangat yang ada di pipi, kemudian membawanya turun agar terlepas. "Banyu, aku sadar itu, tapi enggak ada alasan untuk hubungan kita lebih dari ini."

"Seana, aku udah usaha untuk cari kebahagian lain yang kamu minta. Hasilnya, aku enggak bisa temukan itu," ujar Banyu lalu mengangkat wajah sebentar.

"Banyu, kamu tahu risiko dari tindakan kamu ini, 'kan?" balas Seana yang membuat si lawan bicara menatapnya lekat. "Ketika kamu mencintai sahabat kamu sendiri, kamu hanya punya dua pilihan. Pertama, enggak akan pernah nyatain perasaan itu dan pendam selamanya sampai hilang. Kedua, ungkapin perasaan yang seharusnya enggak ada itu. Dan, kalo kamu pilih yang kedua, kamu harus siap untuk kehilangan sahabat kamu, Banyu."

"Terus? Apa dengan begini kamu bakal putus hubungan persahabatan kita, Seana?" tanya Banyu dengan mengepal kedua tangan di sisi tubuh.

Seana menggeleng dua kali, meraih tangan kanan Banyu agar naik, dan mengudarakan kelingking milik pemuda tersebut. "Kita sekarang lagi bikin perjanjian agar terus bersahabat selamanya, 'kan?" ucap gadis itu seraya mengikat jari sang sahabat dengan kelingking mungilnya.

"Banyu, kamu tahu sendiri waktu yang aku punya enggak banyak. Jadi, aku mohon jangan buat semua terasa berat. Aku enggak mau kehilangan siapa pun, Banyu," lanjut Seana sambil menatap wajah berahang tegas si pemuda berambut cokelat gelap.

Banyu menutup netra erat hingga terlihat kerut di sisi kedua matanya. Dia membuka lagi penglihatan, lalu berdecih kecil. "Kamu tahu, Seana? Kamu egois, engga, bahkan kamu egois banget. Kamu enggak mau ditinggal siapa pun, sedangkan kamu sendiri ...." Pemuda itu mengulum bibir, enggan melanjutkan kalimat yang berhasil membuat Seana tertawa pelan tersebut.

"Kamu benar, aku egois dalam hal ini. Karena itu, maaf, Banyu."

Tepukan di pundak Banyu membuat semua lamunan itu buyar. Dia menoleh ke kiri, mendapati seorang gadis berkemeja krem yang sengaja dimasukkan bagian depannya ke dalam rok kulit hitam, senada dengan warna sepatu bot ber-hak kotak yang dikenakan.

"Hai, Banyu," sapa gadis itu sambil membetulkan letak kacamata di hidung.

.
.
.
Halo semuanya terima kasih sudah mau membaca kisah ini sampai sekarang, aku harap kalian tidak bosan yaaak ♥️♥️
.
.
Tetap semangat dan jaga kesehatan manteman UwU 😗♥️
.
.

Ineffable [Terbit✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang