Tito melangkah pelan menuju gazebo kecil di sisi taman kampus yang sedikit tersembunyi di balik deretan pohon trembesi. Udara siang itu hangat, namun tak membuatnya risih. Ia duduk menyamping di bangku kayu, menyandarkan tubuhnya sambil merogoh saku celana, mengeluarkan sebungkus rokok dan pemantik.
Cuma sebentar... pikirnya. Satu batang buat nenangin kepala ini. Nggak lebih.
Dengan satu gerakan, ia menjepit sebatang rokok di bibirnya dan menyalakannya. Asap tipis mulai mengepul dari sudut mulutnya, mengambang di udara sebelum larut bersama semilir angin. Jemarinya yang lentik sesekali mengetuk puntung rokok di lantai semen, menyisakan abu yang hancur perlahan.
Ia membuka ponselnya. Notifikasi masuk membanjiri layar dari aplikasi EXC8T VIP-puluhan pesan booking dari klien-klien lamanya, dan beberapa nama baru yang asing baginya. Jari-jarinya bergerak lambat, membuka satu dua pesan, membaca ajakan yang entah kenapa sekarang terasa begitu kosong dan menjijikkan. Napasnya berat.
Dulu aku pikir ini cara paling cepat buat bertahan... Tito menatap layar, Tapi ternyata makin hari malah bikin aku hilang arah...
Lalu, tanpa pikir panjang, ia membuka semua aplikasi escort yang terinstal di ponselnya. Satu per satu ia tahan, lalu tarik ke opsi hapus aplikasi. Tidak hanya menghapus, ia juga menghapus semua histori. Selesai.
Selesai... semuanya. batinnya pelan, seakan tak percaya dirinya benar-benar melakukan itu. Entah aku kuat atau bodoh. Tapi ini harusnya jadi titik balik...
Ia mengunci ponselnya dan meletakkannya di samping. Rokok masih menyala di sela jari telunjuk dan tengahnya. Ia menyedot dalam-dalam, lalu menghembuskannya ke atas. Matanya ikut menengadah, menatap langit biru yang dibingkai awan-awan lembut seperti kapas. Sinar matahari mulai condong, menimpa wajahnya dari sela dedaunan, menciptakan kilau hangat di kulitnya yang pucat.
Tito menutup matanya perlahan. Wajahnya tenang, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama. Angin berembus pelan, menyapu rambutnya, menggoyang dedaunan di atas kepala. Di momen itu, seolah-olah semesta menepuk pundaknya pelan, membisikkan harapan baru-bahwa mungkin, ia masih pantas untuk kesempatan kedua.
Terima kasih Karel, semesta... yang udah ngasih aku kesempatan kedua. Dan juga... terima kasih buat diri aku sendiri, yang akhirnya berani.
Setahun telah berlalu sejak hari itu. Di atas meja kayu bergaya minimalis di sudut kamar tidur Karel, berjajar rapi bingkai-bingkai foto yang menandai momen-momen penting dalam hidup Tito. Satu per satu terpajang, bukan hanya sebagai hiasan, tapi sebagai saksi bisu perjalanan seorang anak muda yang pernah tersesat-dan menemukan arah.
Di foto pertama, Tito tampak berdiri dengan gagah mengenakan kemeja putih, jas hitam, dan dasi abu-abu. Di lehernya melintang selempang biru tua bertuliskan "Sarjana Hukum". Wajahnya menatap kamera, bibirnya tersenyum tipis, namun matanya bersinar penuh kemenangan. Itu adalah momen yudisium, saat gelar "S.H." resmi melekat di belakang namanya.
Foto berikutnya adalah potret bersama keluarga di hari wisuda. Namun, yang paling sering muncul di semua bingkai setelahnya... adalah Karel.
Entah sebagai bayangan di belakang, sebagai pria yang berdiri di samping sambil menatap bangga, atau bahkan sedang menyematkan toga di kepala Tito-Karel selalu ada di frame. Tak pernah absen. Dan Tito pun tak pernah menolaknya berada di sana.

KAMU SEDANG MEMBACA
Brondong Kampus [SELESAI]
RomantizmLiam Sabert Husodo (22) adalah sosok sempurna di mata publik. Mantan ketua BEM, duta pariwisata, mahasiswa hukum jenius yang selalu tampil menawan dengan senyum manis, rambut menutupi dahi dan poni belah tengah yang khas. Namun semua ini hanyalah t...