Sedari tadi Ara masih melamun memandangi luar kaca jendela mobil. Entah kenapa pikirannya terus saja terngiang-ngiang ucapan Naya tadi. Ia tak menyangka dan tak percaya jika Azka yang melakukan hal itu pada Naya.
Namun, semakin dipikirkan, semakin perih pula rasa sakit yang muncul. Bukan hal yang mustahil jika mereka berdua akhirnya nekad melakukan hal seperti itu. Tak ada yang mengawasi, dan tak ada yang bisa disalahkan. Ara juga menyadari kalau dirinya egois telah memaksa Azka untuk berkuliah. Ia tak berpikir lebih jauh apakah Azka akan sanggup LDR, jauh dari orang tua, ditambah beban sebagai mahasiswa kedokteran yang sangat menguji mental maupun fisik.
"Kak..." panggil Azka, tangannya sibuk menyetir, sementara pandangannya bergantian menatap Ara dan jalanan di depan.
Ara masih enggan untuk merespon. Ia takut jika suaranya keluar, air matanya juga ikut-ikutan keluar.
Salah satu tangan Azka perlahan menggenggam telapak tangan Ara yang terasa begitu dingin.
Tangan Kak Ara dingin banget..., batin Azka mulai khawatir. Tatapannya terus menoleh menatap Ara yang masih saja melamun.
Terpaksa, Azka menghentikan mobilnya di tepi jalan.
Ara sedikit terkesiap kaget begitu menyadari mobil yang ia tumpangi tiba-tiba berhenti.
"Kok berhenti?" tanya Ara, mulai menoleh menatap Azka yang kini memandangnya fokus.
"Kakak kenapa diem terus?" Azka balik bertanya. "Kakak sakit? Lagi gak enak badan?"
Ara menggeleng lemah.
Azka pun menghela napasnya, "Kak Ara masih marah ya sama Azka?"
Ara menggeleng lagi. Jemari Azka mulai menangkup kedua tangan Ara.
"Kak... Azka bener-bener minta maaf. Azka lupa bangunin kakak tadi," tutur Azka.
Ara mulai menunduk, lalu menarik napas panjang sebelum akhirnya memberanikan diri menatap wajah Azka.
"Azka gak ada sesuatu yang mau diomongin ke kakak? Kalo Azka jujur sekarang, kakak mungkin masih bisa maafin kamu."
"Emangnya jujur soal apa kak?"
"Azka beneran gak inget apa-apa?"
Azka menggeleng polos.
Mata Ara mulai berkaca-kaca. Tangisannya pecah seketika ketika otaknya benar membayangkan Azka telah berbuat hal nekad seperti itu pada Naya.
"K-Kak..." Azka langsung memeluk Ara ke dalam dekapannya.
"Selama ini aku berusaha sabar gak mengekang kamu, Az. Aku juga gak pernah ngelarang kamu deket sama siapapun. Tapi tolong... kalo kamu lagi bosen sama aku--"
Ara makin sesenggukan menangis. Tangannya menyeka cepat kedua pipinya yang basah.
"--seenggaknya jangan cari cewek lain buat dijadiin pelampiasan."
Ara mulai menangis tersedu-sedu. Tangan Azka reflek mengelus rambut Ara dan mengeratkan pelukannya.
Perlahan Ara menyandarkan dagunya di bahu Azka. Sebuah senyuman terlukis seiring air matanya yang terus menetes.
"Dede gemesku sekarang udah besar ya. Udah bisa bikin cewek patah hati sampe nangis begini," lirih Ara.
"Kak..."
Kedua tangan Ara mulai membalas pelukan dari Azka. "Maaf kalo selama ini aku belum bisa bikin kamu bahagia. Aku banyak kekurangan... aku gak pinter, gak punya keahlian, egois. Aku bener-bener bodoh waktu itu nekad deketin kamu yang seharusnya bisa dapetin lebih baik dari aku."
KAMU SEDANG MEMBACA
Kakak Tingkat ✔ [COMPLETED]
Teen Fiction[SEBAGIAN CHAPTER DI PRIVATE, FOLLOW BIAR BISA BACA] Ketika Azka memutuskan untuk melamar Ara tepat satu jam setelah pengumuman kelulusan. Sesuai janjinya pada waktu itu, Azka takkan pernah meninggalkan Ara sampai kapan pun. Azka benar-benar menjadi...