[20] Mulai Menjauh

4.7K 855 343
                                    

⚠️⚠️⚠️

Ara terlelap tidur di pelukan Azka ketika gadis itu sudah lelah menangis. Berkali-kali suara pintu lift terbuka, namun Azka tak kunjung beranjak dari tempatnya. Ia sengaja berdiam di posisinya hingga membuat Ara nyaman dan berakhir tertidur di dalam dekapannya.

Azka sejenak menunduk, memandangi wajah Ara begitu lama, lalu refleks mencium kening gadis itu. Tak lupa Azka mengelus puncak kepala Ara sebelum akhirnya ia membopong tubuh Ara ketika pintu lift terbuka untuk yang kesekian kalinya.

Azka menggendong Ara ala bridal style, kemudian membaringkannya di atas kasur yang empuk. Azka memperhatikan lagi wajah Ara yang kini tertidur sangat damai. Andai saja dulu Azka tau kalo Ara sedang sakit, mungkin ia akan pikir-pikir lagi untuk tidak berkuliah jauh disini.

Azka pun ikut berbaring di sebelah Ara. Netranya fokus menatap kosong langit-langit kamar seiring pikiran buruk yang terus melanda otaknya. Entah kenapa Azka tiba-tiba merasa marah, kesal, dan kecewa kepada dirinya sendiri karena gagal menjaga Ara.

"Kak... Kakak janji gak bakalan ninggalin Azka kan? Azka takut sendirian lagi..." gumam Azka bermonolog sendiri. Sesekali hembusan napas pelan keluar dari mulutnya ketika pemandangan langit-langit kamar yang mulai memburam.

Tes

Sebulir air mata menetes jatuh perlahan membasahi sisi pipi Azka. Tangannya terulur mengambil sesuatu dari dalam laci. Sebotol obat penenang kini ada di genggamannya.

Azka mengeluarkan beberapa tablet obat itu dan langsung menelannya dalam sekali tenggakan.

Perlahan, perasaan Azka mulai kembali tenang. Ia pun memiringkan badannya ke arah Ara dan menarik tubuh gadis itu ke dalam pelukannya. 

Azka memeluk Ara posesif, lalu perlahan memejamkan mata ketika efek obat penenang tersebut mulai bekerja.

"Good night, Kak," bisik Azka, sebelum akhirnya ia benar-benar terlelap tidur sambil menenggelamkan wajahnya di tengkuk Ara.

***

Keesokan harinya

Ara terbangun ketika hawa panas tiba-tiba terasa memenuhi sekujur tubuhnya. Ia sedikit menggeliat dan terkejut melihat sosok Azka yang tertidur di sampingnya. Tangan Azka juga terlihat masih memeluk tubuh Ara begitu erat.

Sesaat, Ara mengernyitkan kening khawatir ketika menatap wajah Azka yang berkeringat cukup banyak. Telapak tangan Ara refleks terulur menyentuh dahi Azka yang terasa panas.

Sedetik kemudian Ara menyadari kalo Azka sedang menggigil demam

"Az?" Ara berusaha membangunkan Azka dengan menggoyangkan pelan bahunya, namun lelaki itu tak kunjung bangun.

Buru-buru Ara turun dari kasur dan berlari sempoyongan ke dapur. Ara meraih baskom dan handuk kecil yang tersampir di dekat pintu kamar mandi. Tak lupa, Ara mengisi baskom tersebut dengan air dingin.

Ara kembali ke kamar, kemudian mengompres kepala Azka dengan handuk kecil tadi yang sudah dibasahi dengan air dingin.

Sejenak Ara menatap wajah Azka yang terlihat begitu kelelahan. Ara jadi merasa bersalah telah merepotkan Azka selama ini. Ara tau bahwa Azka sangat khawatir tentang kondisinya, namun Ara masih belum mau untuk periksa ke dokter.

Karena sejujurnya dari dulu Ara sudah tahu kalau momen ini akan datang, dan dia tak mau menyia-nyiakan kesempatan terakhirnya berduaan dengan Azka.

Sekali dia pergi check up ke rumah sakit, para dokter disana pasti tak akan mengizinkannya keluar lagi.

"Kak Ara... jangan pergi..." erangan kecil keluar dari mulut Azka yang sepertinya sedang mengigau di dalam mimpi.

Kakak Tingkat ✔ [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang