[24] Berakhir

5.7K 1K 351
                                    

Ara berjalan tak tentu arah menyusuri trotoar kota yang cukup sepi. Langkahnya sempoyongan, seiring air matanya yang terus jatuh menetes. Hari ini, Ara sudah kehilangan satu tujuan hidupnya. Dan ia tak berniat untuk memperjuangkannya lagi.

Ara lelah. Sangat lelah. Jiwanya sudah hancur sekarang. Dan kini, ia tinggal menghitung waktu untuk menunggu raganya ikut hancur juga.

Bahkan Ara merasa seolah tubuhnya mati rasa. Berkali-kali ia tak sengaja menabrak bahu orang-orang yang berjalan melewatinya. Namun yang ada di pikirannya saat ini adalah kesedihan, kekosongan, dan rasa hampa yang tak berujung.

BRUGH

Ara terjatuh ketika tubuhnya mulai merasakan gejala yang intens. Ara hanya bisa menahan rasa sakit itu dalam diam, sambil menangis, tanpa berniat meminta tolong kepada siapapun lagi.

Untuk apa bertahan hidup jika semua orang menginginkannya untuk mati.

Gue hamil... Anaknya Azka

Ara mulai menangis ketika memori itu kembali terulang di otaknya. Sakit rasanya ketika seluruh perjuangan yang ia lakukan selama bertahun-tahun justru berakhir sia-sia.

Azka ternyata mencintai orang lain, bukan dirinya.

Yang bisa Ara lakukan sekarang ini hanyalah melupakan seluruh kenangannya bersama Azka, sebelum kenangan itu merugikan orang lain.

Karena, sebentar lagi Azka akan menjadi seorang ayah, dan Ara tak mau ikut campur lagi. Sudah cukup Ara saja yang merasakan kehilangan sosok Papa dalam hidupnya, ia tak mau kalo calon anaknya Azka juga merasakan hal itu.

Ara tak ingin mengganggu masa depan Azka dan keluarga kecilnya.

Meskipun jauh di dalam lubuk hati Ara... ia tak rela melepaskan pujaan hatinya itu.

"Pasti anaknya lucu..." Ara berusaha menghibur dirinya sendiri meskipun hatinya terasa sangat tersayat. "Mereka pasti seneng punya ibu kayak Naya yang bisa jagain terus sampe gede nanti. Bisa nganter ke sekolah. Bisa masakin sarapan yang enak. Bisa nyanyiin nina bobo kalo malem..."

Ara menghentikan kalimatnya ketika rasa sesak di dada membuat air matanya mengalir begitu deras.

"... gak penyakitan kayak aku ini. Bisanya cuman nyusahin."

Ara perlahan bangkit dan melanjutkan langkahnya lagi sambil tertatih-tatih. Ia pun terduduk di sebuah halte yang sepi.

Drrrtt~

Ara mengeluarkan ponselnya ketika ada panggilan masuk dari Azka. Dengan cepat Ara menolaknya. Ia menatap sayu log panggilan tak terjawab dari Azka yang menyentuh angka 100.

Drrrtt~

Ponselnya kembali bergetar. Ternyata panggilan video call dari Riris.

Ara menghela napas berat, menyeka air mata di pipinya, lalu memasang wajah bahagia.

Tut~

"Halo, Ma..."

Terlihat Riris dan Muna yang melambaikan tangan bahagia bisa temu kangen dengan Ara.

"Ara, anakku sayang. Gimana kabar kalian berdua disana? Baik-baik aja kan?"

Ara berusaha tersenyum sekuat tenaga.

"Alhamdulillah, Ma... baik."

"Kamu lagi dimana ini? Kok malem-malem di luar?"

"Jalan-jalan, Ma... Bosen di dalem terus."

"Jaga kesehatan ya sayang. Gak baik calon istri keluar malem-malem kayak gini, apalagi nanti kalo kamu udah jadi calon ibu."

Kakak Tingkat ✔ [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang