Ini harusnya publish waktu Jimin day, tapi ya begitulah ... 😭😭😭
Happy reading
.
.Senja itu, cuaca cerah tanpa awan. Walaupun jam sudah menunjukkan pukul 6 sore tapi masih belum gelap. Matahari masih menampakkan sinarnya, bersinar hangat tak terlalu terik. Angin dari laut bertiup sepoi-sepoi mengiringi langkah-langkah kami menyusuri jalanan di tepi pantai Haeundae yang ramai manusia.
Setelah kembali ke hotel dan bebersih badan, kami semua berjalan-jalan menikmati semaraknya suasana kota. Malam terakhir di Haeundae dihabiskan dengan acara bebas untuk masing-masing keluarga sekaligus juga mencari hidangan makan malam.
Jimin berjalan gembira, sesekali ia melompat dengan satu kaki sambil menghitung banyaknya ubin trotoar. Aku dan Papa masing-masing menggandeng tangan Jimin. Menelusuri kawasan ini mau tidak mau membangkitkan banyak memori manis dan indah.
Sebagai orang Busan, tentunya aku sudah sering bermain ke tempat ini. Aku dan Papa juga pernah berkencan di sini, juga bersama teman-teman sekolah dan keluarga. Meskipun perkembangan pembangunan kota yang pesat menyebabkan beberapa bangunan baru di sana sini, tapi masih banyak tempat-tempat favorit kami yang bahkan sudah ada sejak aku kecil.
Masih ada sepasang suami istri penjual hotteok yang kini sudah lanjut usianya. Mereka sangat ramah apalagi pada anak kecil. Ada warung sate seafood dengan dagangan sate gurita dan sate cumi-cumi kesukaan Papa. Juga ada restoran grill kecil langganan kami sejak masih pacaran dulu.
Ke sanalah kaki melangkah, rindu makan masakan yang khas hanya ada di tempat ini. Namun setelah tiba di sana, kami bukannya langsung masuk. Karena ternyata tepat di sebelah restoran grill yang sederhana itu dibangun sebuah rumah makan baru dengan menu ayam goreng krispi yang hype dan kekinian.
Sejenak Jimin ragu-ragu, "Makan yan mana ya?" bicara sendiri sambil mengemut jari telunjuknya.
"Chim penen makan dagin," dia menunjuk ke rumah makan grill. "Tapi penen ayam golen juga," telunjuknya berpindah ke bangunan besar bernuansa merah.
Lalu telunjuk itu bergerak berganti-ganti ke antara 2 tempat itu, sambil mulutnya berkomat-kamit tanpa suara. Rupanya ia sedang ber- cap cip cup, memilih acak saja.
Melihat tingkah Jimin, Papa mengusap perutnya. Bibir sedikit cemberut tapi mata berkilap jenaka. "Ayo, Nak, jangan lama-lama pilihnya. Papa lapar, nih." Suamiku bukannya membantu malah semakin memanasi.
"Mamaaa, pilih yan mana?" kata Jimin akhirnya sambil mengangkat kedua tangan. "Binun."
Aku terkekeh lalu berjongkok di sampingnya, "Terserah Chim. Tapi kalau Chim tanya Mama, mungkin makan daging saja. Soalnya rumah makan ini kan cuma ada di sini. Kalau ayam goreng, masih ada cabang yang lain."
Jimin memantapkan pilihannya, "Iya, deh. Chim mau makan dagin aja. Pake sayul yan banyak." Wajahnya dihias senyum lebar karena telah memutuskan.
"Okay, ayok," aku menggandeng tangannya, mengajak masuk ke dalam grill house.
"Ahh, Jimin, Papa sudah hampir pingsan kelaparan." Suamiku masih saja bercanda sambil mengipasi wajahnya.
"Papa gimana sih, kalau lapal ya makan. Bukan pinsan." Jimin menjulurkan lidahnya kepada sang Papa yang dibalas usakan gemas di ubun-ubun.
"Sudah, sudah, ayo masuk." Aku tersenyum lembut kepada 2 laki-laki paling berharga dalam hidupku. Tangan mendorong pintu rumah makan, bel berbunyi menandakan kedatangan kami.
"Selamat datang," suara si Ahjumma pemilik rumah makan.
KAMU SEDANG MEMBACA
(The Story Of) Chim And Yoonie
FanfictionCerita Chim dan Yoonie hwun, dua anak yang berbeda karakter tapi bersahabat karib sejak hari pertama mereka bertemu di sebuah Taman Kanak-kanak.