duapuluhsembilan

31 1 0
                                    

"Bang. Dimana?" Hesa membaca pesan masuk ke ponselnya melalui fitur intip. Pesan yang sama, dikirimkan dua orang berbeda. Satunya Andre, yang satu lagi Sean. Kalau Sean bukan 'bang' sih, tapi 'kak'; cuma intinya sama. Hesa hanya menaikkan dua alisnya melihat kekompakan ini.

Dan dia ... bodoh amat. Dia masukkan ponsel di kantongnya, fokus kembali pada mainan berkedip di depan. Bola basket di tangan, Hesa mengangkatnya tinggi dan yak! Flooosh! Bola oranye itu masuk dengan mulus ke ranjang.

Yoi man, benar dugaan kalian. Hesa kini sedang asyik main di zona waktu mall terdekat. Yah, hitung-hitung penghilang stres.

Sudah agaknya 3 jam Hesa di sini. Pulang dari hotel tadi, dia tidak langsung ke kosan, Hesa melipir naik ojek pangkalan ke mall terdekat. Biasanya, kalau stres berat Hesa mencari lubang (uhukmekiuhuk) untuk dihantam, tapi karena dia berusaha serius dengan Sean, Hesa memilih cara lain untuk melampiaskan frustasi. Ngebut? Hello, motor siapa? Berantem? Dih. Dia baru kelar bonyokin orang. Jadi? Jalan satu-satunya dengan main di game center; zona waktu (t*me z**e).

Duit mah dia ada. Nggak unlimited sih, tapi project terakhir lumayan menjanjikan uangnya. Jadi hedon tipis-tipis di game center boleh lah ...

Dengan masuknya bola itu, bola terakhir dipermainan bola basket sudah Hesa tembakkan. Sekarang dia sedang menunggu drededet drededet dari tiket zona waktu. Tiket hadiahnya panjang dong, Hesa bisa memasukkan semua bola tepat ke lubang ranjang. Karenanya, sambil bersiul, Hesa melipat tiket itu dan menggabungkannya dengan tiket lain yang dia peroleh sebelum ini.

Senyum merekah di bibir Hesa melihat segepok tiket, ia melirik dari tempatnya ke jajaran hadiah di pusat penukaran. Hm ... dia mengincar kupon gratis makan, biar dia bisa isi perut tanpa keluarin cuan. Sayangnya, tiket yang dia dapat belum cukup.

Mengepalkan tangan di udara, Hesa memutuskan untuk mendapatkan kupon itu dengan uang sminimal mungkin. Dia menghitung koin game center ini, lalu dia menoleh, mencari game yang bisa memberikannya banyak tiket.

Manik kelam pria itu terhenti pada satu mesin bermain. Di mesin itu ada sarung tinju menggantung, di belakangnya ada layar. Hesa mengamati sejenak karung gondal-gandul itu. Otaknya langsung bekerja membaca sistem yang digunakan game di sana. Beberapa detik kemudian dia menyeringai.

"Heh. Pas banget buat pelampiasan hasrat 'ngantemi wong' (mukulin orang)." Pemilik rema piyak pinggir itu bergerak cepat menghampiri game tinju. Sambil berjalan dia melakukan peregangan, tawa kekekeh nista meluncur dari bibirnya. Sak tinju sudah berubah jadi Jaka di benak Hesa dan hohoho. Hesa pengen banget ngancurin muka sok yes itu orang.

"Haaaa ..." Hesa sudah memasukkan koin ke mesin, kini dia bersiap. Tangannya mengepal, fokus melihat ke depan—ke arah manusia jadi-jadian yang tengah tersenyum mengejek.

Sedetik berikutnya duak duak dues dak dak des! Hesa mulai melancarkan ke frustasiannya pada game naas tak bersalah di hadapannya.

Saking seriusnya dia mencurahkan kekesalan di dada dan mengoarkan hasrat memutilasi yang terpendam, Hesa sampai tak menyadari, di kejauhan ada yang mengamati. Orang itu sedang berdiri di counter koin dan tengah menyeruput es kopi berlogo duyung ekornya dua. Lekat, dari tadi dia mengamati Hesa. Senyum kecil tersungging di bibirnya.

"Kenapa Ris?" pemuda lain di sisi sang pengamat bertanya. Boneka piyo piyo di tangan, mukanya yang terbilang cantik menyembul di atas si kuning besar yang ia bawa.

"Oh engga. Aku baru sadar di kampusku ada serigala bengis yang pura-pura jadi domba," jawab lelaki itu sambil tertawa kecil. Dia menutupi bibirnya saat berbicara begini, maksudnya agar tak menunjukkan ide licik apa yang tengah ia pikirkan. Namun secuil seringai masih tampak.

Yang diajak bicara tak paham tentu saja, dia hanya membuang napas kasar melihat tingkah kekasihnya itu. "Jangan buat masalah Ris," dia menegur. Tangannya memainkan sayap piyo-piyo saat bicara, agaknya yang menasihati adalah piyo-piyo.

Si pemilik rema coklat kemerahan di sana tertawa. "Iya Cak, iya ...," katanya seraya mengalungkan tangannya di leher laki-laki berema ikal di depannya dan mengajaknya pergi dari sana.

Namun jelas, dari caranya bersenandung ... orang itu seperti menunggu waktu yang tepat untuk memangsa. Jantungnya berdebar tak karuan membayangkan waktu ketika ia bisa menguliti bulu domba yang menutupi serigala di sana.

Bagaimana rupanya, mmh? Bagaimana domba itu akan bertindak? Haha. Dia tak sabar.

Dan tentu, serigala berbulu domba yang ia maksud, adalah Hesa.

***

"Her lu mo maksi saja sampe ke sini, jauh bet elah." Ini sudah ke delapan kalinya Herma Alfun Sudiro mendengar protes dari kawannya. Ceritanya hari ini Herma cs bolos sekolah, biasa moba berjamaah di kolong jembatan. Nah siang bolong mereka kelaparan, mo balik magernya kebangetan, akhirnya naik TJ dan taraaa sampailah di mol.

Nggak sih, Hermanya saja yang ngidam makan di mol. Dia keuhkeuh naik turun TJ demi makan di mol yang nun jauh dimato. Alasannya? Kalau jauh dia nggak akan terlibat drama. Entah kenapa feelnya nggak enak di dekat Sean hari ini.

"Bosen bro. Gua mau yang bedaah," jawab Herma untuk kesekian kalinya sambil merentangkan tangan, bak memperagakan keinginannya menikmati dunia dengan hal yang tak biasa.

"Bedah dengan pura-pura sudah jadi anak kuliah ya bro? Lagak lu sok bet dah." Teman Herma, sebut saja Dono tergelak setelah mengamati Herma dari atas ke bawah. Tampilan Herma memang ala-ala anak kuliahan, celana coklatdipadu dengan kemeja putih yang dibuka dari atas sampai ke kancing nomor 3. Dadanya yang bidang dipamerkan.

Meh. Kelihatannya dia seksi sekali. Padahal sebenarnya itu celana seragam—sergam STMnya beda dari yang lain hari kamis begini—lalu itu kemeja juga seragam, yang dicopot semua atributnya. Samar kelihatan cap double tape di tengah-tengah, tapi samar sekali.

"Padahal cuma modif baju seragam aja, bangga," lanjut orang yang sama dengan tawa nyinyir membuat diam-diam Herma kena mental. Singkat cerita, sambil haha hihi Herma dan antek-anteknya masuk ke dalam food court. Mereka celingak-celinguk mencari tempat duduk kosong, karena ini jam makan siang, jadi biasalah ... berjubal.

"Itu ada Her!" satu teman Herma menemukan titik untuk makan. Herma yang percaya langsung bagi tugas. Beberapa cari makanan, jajan dan makanan berat, lalu ada yang ke stand minuman dan diaaa jaga tempat.

Namun langkah Herma terhenti begitu jarak dia dan meja yang dimaksud temannya tinggal satu meter. Meja itu gabungan dengan beberapa meja lain dan seseorang sudah duduk di sudutnya. Memang cukup buat Herma cs, tapi orang yang duduk di sana itu ... cukup membuat Herma membatu.

"Bang Hesa?" celetuknya, menyebut nama orang di depan sana.

Yang dipanggil mendongak. Dia mengernyitkan dahi sesaat sebelum mengangguk, tanda mengenali Herma. Baru setelah mi di mulut habis dia menyapa dengan wajah datar, "halo. Bolos ya?"

Err ... kalau itu bisa disebut sapaan sih.

[]

BL : URAKANWhere stories live. Discover now