tigapuluhdua

66 7 0
                                    

Desta. Nama indah itu memiliki makna dalam yakni 'kebahagiaan'. Dulu, dahulu sekali, Desta diberi wejangan akan betapa ayah dan ibunya mendambakan keberadaan Desta kan menjadi sumber kebahagiaan mereka. Desta bangga dengan namanya, dia selalu berjuang keras memenuhi ekspektasi orang-orang yang dia cinta.

Sampai pada suatu hari ...

Dia merasa gagal dan terbebani dengan nama itu.

Dia tak bisa memberikan kebahagiaan. Ibunya menangis setiap menyadari keberadaannya, adiknya memandangnya dengan tatapan jijik dan ayahnya ... muak hanya dengan kehadirannya. Nama indah yang dia emban, menjadi nama yang ia benci.

Di tengah kegelapan harinya, Desta memutuskan untuk membuang dirinya sebagai Desta juga Suhendra. Ia rombak namanya untuk menyongsong masa depan baru. Desta Aaron Suhendra berganti menjadi Desta Aaron Mahesa. Satu kata dibubuhkan, sebagai simbol harapan Desta untuk menjadi diri yang kuat dan berani; Mahesa. Dan semenjak itu, dia tak mau dipanggil Desta; ia memperkenalkan diri sebagai 'Hesa'.

Karena itulah, ketika nama yang telah lama ia tanggalkan itu terucap, Hesa hanya bisa mematung di tempatnya. Ia memandang lurus pria gagah di sana, diperbatasan ruang kecil tempat sepatu dan ruang tamu. Ia tahu siapa orang itu, sangat tahu. Juta kecamuk merasuk dada Hesa dalam satu waktu.

Dia bahagia orang itu masih sudi memanggil namanya. Bahagia sekali karena bisa bersitatap dengan sosok yang selalu ia kagumi. Namun di lain sisi, ia takut. Takut jika dengan melihatnya, semua yang ia perjuangkan ... kebahagiaan ibu dan adiknya ... dan juga kebahagiaan ayahnya sendiri, akan hancur. Bukankah Desta sudah gagal membawa kebahagiaan untuk orang yang ia cinta? Kemungkinan hal sama akan terjadi untuk kedua. ketiga, keempat sangat;ah besar.

Tidak.

Dia tak ingin merusak tatanan yang sudah ada.

Dengan mata membelalak, pemuda itu membawa dirinya mundur. Tanpa sadar ia memperlebar jarak yang membentang antara dirinya dan lelaki berahang kokoh di depannya yang tengah memandangnya dengan intens.

Di saat bersamaan, teriakan suara lampau memenuhi gendang Hesa. "AKU BUKAN AYAH MAKHLUK MENJIJIKKAN SEPERTIMU!" dan wajah lelaki di depannya berubah. Di mata Hesa, dia melihat wajah yang lebih muda itu menatapnya berang. Emosi merajah wajah. Dia melihatnya dengan jijik. "AKU TAK MAU TAHU! PERGI! PERGI!" suara itu menggaung lagi. Dan refleks, Hesa memegangi dua telinganya, berusaha menutup mereka, menghalau suara-suara itu merasuk lebih dalam. Napasnya pun ... menjadi naik turun tak karuan.

Sudiro menyadari hal ini. Dia membelalak melihat kondisi pemuda di sana, dia tahu apa yang tengah terjadi; Hesa sedang mengingat sesuatu yang traumatis. Entah mengapa firasatnya tak enak. Namun berbeda dengan Diro, Doni tak memahami siatuasi ini. Dia begitu antusias dan menunjukkan wajah bahagia melihat putranya dalam kondisi sehat dan prima di depannya. Sang CEO ini bahkan merentangkan tangan tanpa ia sadari, sambil berjalan mendekati anaknya—anaknya yang melihatnya saja sudah merasakan teror tersendiri. Diro bisa melihat Hesa makin lama makin pucat.

"Des—"

"Maafkan saya!" Hesa memotong. Dia yang biasanya bisa mengatur komposisi, kehilangan ketenangan. Dia menunduk dan tubuhnya bergetar hebat. "Maafkan saya. Saya lalai dan tak tahu jika Bapak akan datang ke tempat ini," pemuda itu membawa tangannya turun dan mengepalkan mereka kuat-kuat. Dia berkata dengan kalimat yang sangat sopan tapi dengan nada yang sedikit tinggi. Dari suaranya, tampak jelas emosinya tak stabil.

Doni terhenyak mendengar kalimat itu. Dia mematung, matanya membelalak. Hesa memanggilnya 'Bapak' seperti dia memanggil 'orang lain'. Tak ada kedekatan di suara itu. Doni bisa melihatnya, entah mengapa meski anaknya ada di depan sana ... rasanya, dia begitu jauh ...

BL : URAKANWhere stories live. Discover now