dua

515 79 39
                                    

Herma tahu Sean itu memiliki kemauan yang kuat. Dia ingin A, harus A terpenuhi. Oh, itu artinya kemauan kuat atau keras kepala ya? Yang mana pun lah, tapi yang jelas karena sifat yang begini ... Herma selalu terkena getahnya.

Kemarin mereka berantem sampai harus mendekam di kantor polisi. Sekarang? 

Sekarang tanpa malu pada keluarga Herma (adalah fakta alasan Herma keluar masuk kantor polisi karena gelud sama Sean), belum juga matahari menyinari dunia lebih dari dua jam ... dia sudah nongol saja di depan Herma. Dan tahu apa kalimat pertama yang dia ucapkan, "bray. Daripada sekula, kita caw yuk. Bosen gue berpikir dan ingin kegiatan yang mendesirkan hati."

Herma terdiam. Dia pandang temannya penuh makna, mencari tanda-tanda kalau orang di depannya sudah gila. Dan ketika yang dipandang hanya memandangnya sambil memutar-putar kursi di meja makan dengan wajah riang macam orang gila ... Herma tahu fix dia selama ini berteman dengan jebolan rumah sakit jiwa. Dia harus telpon orang rumah sakit nih.

Karenanya dia cepat melipir ke telepon di dekat lemari dan berkata, "halo, rumah sakit jiwa? Tidak merasa pasiennya hilang sat--UUUAANJING!!" yang sayang harus diakhiri karena tiba-tiba ada centong nasi bersama bakinya menggetok kuat tulang pelipis.

"Gue nggak gila, bangsat!" Sean berteriak dengan mata melotot.

"Lah elu siapa, gue siapa, elu tiba-tiba ajak apa ... kan hanya orang gila yang bisa nawarin ide gila!" Herma melotot, membalas teriakan Sean dengan seruan. Oh, dia lupa menutup teleponnya ngomong-ngomong.

"Gue cuma ajak lu cari cinta sejati gue, bajing! Lu alay lebay bet dih!"

Herma mamandang Sean dengan muka are-you-fuc***g-kidding-me sebelum dia kembali fokus ke pesawat telepon, "rumah sakit, beneran ada orang gila di rumah saya. Bisa tolong diam--Sean! Lu jan gangguin gue yang mau bantuin lu balik ke habitat lu napa?!" sebelum melotot ke arah temannya yang sudah berada di sebelahnya dan menekan tombol putus di pesawat telpon Herma.

"Gue ajakin lu baek-baek tapi gini ya balesan lu! Kita selama ini temenan cuma sepihak ya? Gue minta bantuan eh dimainin kek gini! Sakit ati gua!" geram Sean, matanya melotot. Herma berani bersumpah dia melihat kilatan luka dan rasa terkhianati di sana.

Oke, bukan maksud Herma membuat Sean berpikir demikian, tapi dia ingin orang ini berhenti berhausinasi! Kalau suka orang yang bisa diraih dikit kenapa? Eh, sekalinya dia jatuh cinta ... ke orang yang sekarang entah dimana dan cuma punya almet doi doang. Nggak logis banget, kampret!

Tapi gimana juga cara sadarin orang yang bucinnya udah akut gini ya?

Dan shit! Karena Sean tadi agak ngegas dikit, dia jadi terpancing emosi juga!

"Gue bukan nggak mau nemenin lu cari babang gans lu ya. Gue cuma nggak mau mati!" seru Herma sambil menunjuk-tunjuk lelaki yang tingginya sedikit lebih pendek itu. Matanya melotot kini, menyangatkan dan menekankan kata mati di sana. Kata yang membuat Sean mengerut dan pasang tampang tak paham. 

"Lah, gue kagak ajak lu bundir, anjay!"

Herma melengos. Dia bersendekap dan menaikkan dagunya. Memandang Sean dari atas, dia bertanya sinis, "terus? Lu udah pikir ke jatim kita naik apa? Kita tinggal dimana? Lu bawa uang berapa ke sana? Baju lu? Makan lu?" yang tepat sasaran, membuat Sean seketika kicep. Jujur, dia tak berpikir sejauh itu.

"Lu itu selama ini ngandalin napsu lu doang, tahu nggak?! Lu udah terlena sama booming kita sebagai anak STM yang dielu-elukan gahar, kan? Terus lu berpikir kalau lu bisa semuanya! Sadar, tokek! STM gahar kalau kita lagi kelompokan! Selama lu sendiri, lu ... gue juga ... cuma bocah!" sentak Herma kuat dengan mata melotot dan telunjuk mendorong-dorong dada Sean. Berikutnya dia berpaling. Seolah tak ada apa, seolah Sean yang memintanya menemani pergi adalah angin ... dia berjalan menuju kamarnya.

BL : URAKANWhere stories live. Discover now