enambelas

274 42 23
                                    

"Kalian duluan aja," adalah apa yang dikatakan Hesa saat pengumuman jika kereta hendak memasuki stasiun terakhir menggaung di gerbong 5 yang mereka tempati. Radit dan Lina yang tengah beberes dan bersiap untuk turun tentu menoleh dan melemparkan tanya, 'apa maksudnya' tanpa berujar.

"Aku sama Pak Zen mau mampir dulu, kalian langsung aja bareng Andre ke penginapannya ..." setelah menghela napas, Hesa memutuskan untuk menjelaskan perkataannya sedetail mungkin selagi tangannya mulai mempersiapkan ransel hitam di bawah kakinya. "Nanti kan pasti kalian ditawari ayah Andre, kalian bareng aja daripada nunggu aku kelamaan," tambah Hesa sebelum satu diantara mereka bertanya. Untungnya, mungkin karena mereka sudah tahu Hesa bagaimana dan percaya penuh atas keputusan lelaki ini, mereka langsung mengiyakan. Dan berakhir dengan mereka meninggalkan gerbong tanpa Hesa.

Haha, Hesa bahkan tak keluar dari gerbong ini sampai orang terakhir gerbongnya berdiri dan angkat kaki. Dan begitu dia turun, bukannya melepas tudung yang menyelimuti kepalanya, dia justru makin menarik tudung itu turun dan menaikkan maskernya. Berikutnya dia mulai berjalan, menuju pintu masuk parkiran karena bapak dosen yang terhormat menunggunya di sana.

Mau kemana dia dengan si dosmud itu? Enggak kemana-kemana sih, langsung ke lokasi kos-kosan juga. Tadi hanya alasan saja agar kawan-kawannya itu pergi duluan.

Atau lebih tepatnya agar ...

Meninggalkannya sendirian.

Yep. Kalau sudah di Jakarta apalagi setiap ada Andre, Hesa lebih memilih menyendiri dan tidak ramai-ramai di saat pulang dan pergi. Kalau sendiri ... dia jadi tak terlihat. Sementara kalau ramai kan ... bisa-bisa 'orang itu' melihatnya, menyadari keberadaanya. Padahal dia sudah bersumpah untuk menghilang dari hadapannya selamanya. Dan kalau sampai kau-tahu-siapa melihatnya ... ibu dan adiknya bisa ..........

Ya ... walau Hesa yakin jika sebenarnya dia yang sekarang bisa menghidupi keduanya, tapi adiknya masih SMA. Keberadaan seorang ayah penting untuk pertumbuhan bocah itu—agar dia tak menjadi sepertinya. Karenanya Hesa mengalah.

Lebih baik dia hilang daripada kebahagiaan mereka.

Membelah stasiun, Hesa mengedarkan matanya ke keramaian stasiun. Well, ini hari minggu dan katanya ada festival gede-gedean lagi diselenggarakan di Jakarta. Wajar jika padat.

Selama melangkahkan kaki, pemandangan yang dia lihat silih berganti, orang-orang yang bercengkrama, keluarga yang saling tertawa, pun kakak adik yang tengah bercanda, atau juga gerombolan remaja yang mau siap-siap berpetualang. Senyum kecil merekah di bibirnya mendapati pemandangan ini. Melihat orang lain begitu hidup ... entah bagaimana mengikatkannya untuk bertahan dan selalu hidup.

Namun saat dia berada di tengah ruang tunggu dan saat matanya menyapu ke pemandangan parkiran ... Hesa berhenti. Senyum yang merekah di wajahnya, perlahan jatuh. Sinar di matanya perlahan meredup. Dan entah bagaimana ... hatinya tiba-tiba merasa hampa.

Di sana ... di luar sana ... dia dapati rombongannya tengah bercengkrama dengan seorang lelaki dewasa yang ramah membalas cakap mereka sembari menepuk kepala Andre. Di sisi lelaki itu ada seorang wanita paruh baya bersama seorang anak remaja. Entah apa yang dibicarakan, yang jelas mereka tertawa.

Tawa yang ...

Yang tak akan ada jika ada dirinya.

Menghirup napas dalam-dalam, Hesa menengadahkan kepalanya. Memejamkan mata, Hesa berusaha menjernihkan pikir dan hatinya yang mulai dirudung duka. Pelan, bibir tipis itu merapalkan mantra meneguhkan hati, "ingat Hes. Kamu bukan lagi Desta. Desta sudah mati. Kamu Hesa. Hesa kuat. Hesa bisa!"

Tapi jancuknya ... praktek itu kaga semudah ngebacot.

Jujur saja ... meski dia berusaha keras, ada setitik rasa di ujung jiwanya yang menginginkan kehangatan di sana. Menginginkan ... sambutan hangat ketika dia pulang. Pelukan kasih dan tawa ketika dia menunjukkan batang hidungnya.

BL : URAKANWhere stories live. Discover now