duapuluh

276 41 11
                                    

Desta, kamu dicari ayahmu.

Kata sialan itu menari-nari di benak Hesa tanpa mau minggir. Dia berjuang masa bodoh sebenarnya, pikirannya berkali dia alihkan pada hal lain. Hanya saja, hilang sebentar nanti kembali lagi. Hah. Ucapan sialan itu persis banget seperti janji-janji terkutuk para mantan.

"Awawalalaladada. Hes! Kamu dengerin enggak sih?!"

Teriakan seseorang memaksa Hesa menghentikan lamunan dan menoleh ke sumber suara. Dan begitu sosok Andre terlihat, dengusan panjang lelah serta merta dia buang. Wajah putih beralis tebal di sana kentara sekali menyuarakan: 'wajah buriqmu bikin moodku tambah ambyar', sebelum kembali, dia memandang ke luar jendela, pada arak-arakan awan senja.

Dan respon ini membuat Andre mengerutkan kening. Dia yang awalnya duduk di lantai, memangku meja dada yang ditindihi laptop, kontan menyingkirkan mereka. Berikutnya dia merangkak mendekati Hesa, meraih dua tangannya dan memutar tubuh itu, memaksa Hesa melihatnya.

"Ada apa?" tanya Andre penuh kekhawatiran, dua alis tertaut sementara mata mengamati wajah Hesa penuh makna. Yang hanya dibalas Hesa dengan dengusan sebelum kuat, dia dorong tubuh Andre menjauh sambil bergumam, "lihat wajahmu jadi bikin mendung mood ini. Udahan ah nyiapin materi buat besok. Aku mau kencan!" seiring kakinya turun dari single bed.

"Eeeeeh? Tapi kan kita belum tentukan kita ada ide apa!" Andre memerotes, dia ikut bangkit dan kontan mengekor Hesa yang berada di depan lemari, tengah mengambil satu kaos berwarna hitam dan berlambang buaya kecil di dada bagian kiri.

Hesa ber-hmmmm ria sambil melepas kaos tipis bersablonkan barong yang sedang dia pakai. Dia tampak berpikir sejenak, sebelum mengutarakan ide, "bagaimana jika kita pakai sinyal yang didapatkan EEG untuk indik—KKKHHH!!" tapi sayang, dia tak sampai menyelesaikan apa yang dia utarakan karena tiba-tiba tubuhnya didorong Andre ke dinding. Lalu cepat, lelaki 18 tahun itu membuang pakaian yang mau dia pakai dan mendorong kepalanya ke sisi hingga leher putihnya terekspos.

"Siapa ... yang ..." Andre tergagap seiring jempolnya mengusap perpotongan leher dengan dada Hesa. Matanya fokus pada satu tanda merah di sana; tak besar tapi ada—dan Andre yakin ini hickey. Pandangan tak percaya Andre lemparkan pada Hesa. Dan Hesa hanya mendengus, tapi wajahnya kentara sekali tak berniat menjeaskan. Ekspresi yang seketika membuat Andre mengerang dan menyerang titik itu dengan brutal.

Hesa terkesikap tentu saja. Dia berusaha menahan Andre, tapi entah bagaimana alih-alih mendorong hingga bebas, yang ada Andre hanya mundur satu langkah sementara dia terhempas ke lantai. Yang mana seketika membuat Andre menindihinya dan menyerang titik peninggalan Sean dengan beringas.

"An-And—aaahh!" Hesa berusaha menghindar, dia berusaha lepas dan mendorong Andre dengan kuat, tapi sedikit pun lelaki di hadapannya bergeming. Yang ada orang ini malah makin menjadi, dia menggigit Hesa.

Gigitan yang tentu tak berujung baik, Hesa langsung memukulnya hingga terjengkang.

Tapi kakaknya terlalu baik. Bukannya marah-marah dan melayangkan bogem susulan, Hesa terkejut atas apa yang telah dia lakukan dan langsung menghambur ke arah Andre. Penuh kekhawatiran, lelaki kelahiran Desember ini memegang pipi laki-laki di depannya sambil bertanya, "nggak apa-apa kan Ndre? Sakit?" Dua alisnya naik, matanya pancarkan sinar kecemasan.

Andre yang tertatih bangkit untuk duduk, langsung menyambar pergelangan tangan pemuda ini dan cepat, dia tarik tubuh setengah jongkok itu lalu menangkap bibirnya. Yang membuat Hesa spontan mendorong Andre dan bertolak ke belakang, menjauh.

"Bang, gue cinta lu," Andre berkata, mengulang pernyataan hatinya entah untuk yang keberapa kalinya tahun ini, menggunakan Bahasa yang lekat dengan lidahnya—tunjukkan betapa dia serius dan tak main-main. Dia pandang Hesa dalam, dua manik bersua dalam diam. Kediaman yang serta merta membuat hati Andre teremat.

BL : URAKANWhere stories live. Discover now