duabelas

355 41 17
                                    


Di dunia ini tak ada orang bodoh, yang ada orang malas yang tak mau berjuang menjadi pintar. Hesa menanamkan pemahaman itu dengan kuat pada Sean, maksudnya, biar anak itu tidak mencari alasan untuk mengelak dari tugas belajarnya. Tapi yah, namanya manusia, melawan malas tidak mudah, karena itulah Hesa membuatkan jadwal belajar.

Dan di tengah kepadatan jadwalnya, Hesa membaca-baca materi anak STM yang berhubungan dengan pemesinan agar tidak zonk saat Sean bertanya.

Kau tahu apa? Ini melelahkan. Serius.

"Eciye, ada yang berjuang keras demi dede kesayangan nih yeee~" goda Andre yang tanpa diundang menghempaskan pantatnya di samping Hesa yang kini tengah duduk di bangku panjang menghadap meja besar lantai 2 gedung kuliah mereka. Dia dari tadi sibuk mempelajari pelajaran SMA, tugas kuliah yang harusnya dia kerjakan malah dia anggurin di sampingnya. Enggak sepenuhnya dianggurin sih, udah dikerjakan separo. Dan melihat santapan gratis --tugas Hesa--Andre kontan mendekat dong, tak mau ketinggalan santapan lezat!

Namun begitu dia duduk di samping Hesa, Andre mengerutkan kening. Hesa seperti tak mengindahkan kehadirannya dan terlalu fokus pada apa yang dia kerjakan. Hanya saja, masalahnya adalah di mata Andre, Hesa bukannya fokus ...  tapi melamun! Pandangannya kosong! Lalu wajah putih nan kokoh di sana ...  tampak kelelahan.

Pemandangan yang membuat Andre berdecak dan langsung menepukkan tangannya denggan kuat di depan muka Hesa. Seketika, Hesa terlonjak, membuat pena yang tadi dia genggam terbang dan berkelontangan di atas meja. Dengan mata membelalak, Hesa menoleh ke sumber masalah, begitu dia melihat Andre ... helaan napas dia buang.

Mengambil penanya, Hesa kembali menekuri kegiatannya tanpa membalas perbuatan Andre. Yang mana ini membuat lelaki berbalut jaket kulit dengan kemeja yang kancingnya dilepas semua tunjukkan kaos supramo putih itu mengerutkan kening lebih dalam, lalu cepat, sebelum Hesa menggoreskan catatan lainnya di deret rumus-rumus anak STM, Andre meraih pergelangan tanganny dan cepat, dia bawa pria yang lebih ramping darinya untuk mengadap ke arahnya.

"Istirahat dulu," gumam Andre mantap seraya memandang mata coklat indah kawannya yang fokus-tak fokus silih berganti. Hesa kelelahan. Dan tahu tabiat Hesa bagaimana ... demi memenuhi ekspektasi orang lain ... dia akan mengorbankan dirinya sendiri.

Sebelum Hesa mampu membantah, Andre kontan menutup notebook mungil lelaki ini dan merapikan kertas hitungan (tugas) yang berceceran sambil lemparkan tanya, "jam berapa kamu terakhir makan? Semalam tidur jam berapa?"

Pertanyaan yang dilemparkan sambil lalu, sembari merapikan barang-barang Hesa, tapi mampu membuat hati lelaki yang lebih tua ini serasa teremat. Hah, perhatian ini ... perhatian yang sama dengan yang membuatnya jatuh. Dulu.

Merasa harus menghentikan Andre, Hesa merebut lembaran kertas di tangan lelaki ini sambil berbicara, "beno talah, Sean atene ulangan, aku kudu gawekno arek e soa-- (biarin aja, tolong. Sean mau ulangan, aku harus buatin dia soa--)" yang harus terpotong dengan nada tinggi dan menggunjing Andre, "Sean sean sean sean ae teroooos !!! Aku nggak ngurus sean atene lapo yo, sing tak pikir iku koen! Mek koen ora sing liya! (sean sean sean sean aja teruuuuuus!!! Aku nggak peduli Sean mau gimana ya, yang aku pikir itu kamu! Cuma kamu bukan yang lain!)"

Seruan yang jujur membuat Hesa terdiam dan memandang yang bersangkutan dengan dua alis tertekuk. Ekspresinya bingung. Kebingungan yang lama kelamaan berubah ...

"Saiki istirahat o, Hes! (Sekarang istirahatlah, Hes!) Sean bisa menunggu!"

... berubah menjadi emosi. Jadi ... memikirkan Sean salah? Membantu masa depan orang yang benar-benar tulus mencintainya dan tak ada rintangan bernama NORMA dan KELUARGA jika berusaha itu ... salah? KALAU HESA MIKIRIN MASA DEPAN SEAN DEMI MASA DEPAN MEREKA DISALAHIN TERUS YANG BENER GIMANA DA?! TIAP MALEM PHONESEX GITU YA?!

Menggeram, Hesa mengepalkan kuat tangannya. Matanya melotot dan lancarkan pandangan membunuh yang tajam. Tangannya sudah bergetar dan ingin lancarkan tempelengan kuat, tapi Hesa berusaha menahannya. Menggigit bibirnya, Hesa terus menasehati dirinya sendiri, 'ojok kepancing Hes ... koen wes bersumpah ora gelud maneh. Ilengooo!!! (Jangan terpancing Hes ... kamu sudah bersumpah tidak berantem lagi. Ingat itu!!!)' sebelum akhirnya ... karena tak merasa amarah ini mereda, Hesa balik kanan. Dia jejalkan barangnya ke dalam tas sebelum tanpa kata, pergi.

Kadang kau harus mengalah untuk menyelamatkan dirimu dari amarah. Kadang kau harus pergi agar masalah tak semakin menjadi. Dan itu yang dilakukan Hesa sampai membuat Andre menganga. Tapi untungnya Andre tak mengekor, lelaki itu diam di tempat dan hanya mengacak rambutnya kesal.

Kemana Hesa pergi kalau lagi kesal begini?

Ke bawah pohon, ke tempat merokok yang telah disediakan kampus selain di depan himpunan. Di sini, setelah melemparkan tasnya ke samping rimbunan pohon bunga sepatu, Hesa mengambil batang favoritnya dan segera menyulut bara api lalu menyesap kuat-kuat ... dia rasakan bagaimana racun itu mengaduk paru-parunya sebelum dia hembuskan asap batang mungil tersebut pelan-pelan. Daaan seketika Hesa merasakan dirinya plong. Tak ada lagi beban!

"Janc--k koen Ndre! Garai aku tambah ngelu ae! (Jan--- kamu itu Ndre! Bikin aku tambah pusing aja!)" gerutu Hesa seraya menekuk kakinya, lalu jongkok di sana sambil ngudud. Memang ya, rokok itu laksana miras, bisa bikin stres hilang, cling!

Di saat menghisap batang pembuat kanker ini, tiba-tiba ada tangan menepuk bahu Hesa sampai membuat dia yang semula jongkok langsung melompat dan balik badan. Begitu dia mendapati dosen muda Eldis di sana ... rokok yang masih ada di bibirnya jatuh--dia menganga.

Namun entah bagaimana, lelaki yang sepertinya masih berusia 26 tahun ini dengan cepat menangkap puntung rokok Hesa sambil berkata, "ups! Hampir saja!" setelah itu tanpa menunggu lama, dia persembahkan batang nikotin tersebut pada sang empunya sambil mengulum senyum.

"Terima ... kasih, pak?" Gumam Hesa seraya meraih rokok itu dan kembali menyesapnya. Kemudian keheningan canggung terbentuk.  Hesa merasakan bulu romanya berdiri karena keheningan ini daaan INI DOMUD (dosen muda) APAAN DAH, NAPA MERHATIIN DIA TERUS?! Tapi Hesa tak berani menegur apa lagi memukul muka dosen yang jelas menelanjanginya dengan tatapan.

Kecanggungan ini terus berlanjut sampai tiba-tiba lelaki berkulit tan dengan rambut spike kecil rapi di sana angkat bicara, "Hesa mau proyekan sama saya?" Yang seketika membuat Hesa menoleh ke arah dosennya sambil menceletukkan 'eh?'

"Apa yang kamu pikirkan tentang EEG?" Sembari mengeluarkan rokoknya dan mendekat ke arah Hesa untuk meminta bara api, lelaki berlesung pipi ini melemparkan tanya. Hesa yang kagok dengan kuis dadakan ini tentu menjawab sekenanya, seperti pengertian jika EEG adalah alat untuk mengukur fluktuasi tegangan yang dihasilkan oleh arus ion dalam neuron otak.

Jawaban yang membuat dosen berbalut kemeja batik biru ini terkekeh dan menjentikkan jari. "Punya bayangan untuk memproses sinyal EEG itu dan dijadikan alat detektor kantuk?" Tanya dosen itu lagi, tampak jika memancing.

Hesa terdiam sejenak sebelum membalas, "bisa sih pak. Toh kantuk sendiri merubah kerja gelombang otak menjadi setingkat alpha atau sekitar 8-12 Hz yang man--" tapi tak dia selesaikan karena tiba-tiba tangan pria bernama Zen Deniar ini terangkat, menghentikan ucapan Hesa. Lalu berikutnya, dia membuat Hesa terkejutkejut dengan pernyataan singkat, "oke, besok urus dispensasi. Kamu, Andre, Radit dan Lina ikut saya ke Jakarta untuk memajukan riset elektro biomedis Indonesia. Sebulan."

Seketika Hesa mencicit, "EEEEHHH??!"

.

.

[Tbc]

[Kalau cari enaena kaga ada di sini, wkwkkw]

BL : URAKANWhere stories live. Discover now